Jakarta-TAMBANG. Terkait penangkapan tongkang yang diduga menyelundupkan timah sebanyak 134 peti kemas oleh TNI AL di perairan Pangkal Pinang, Bangka Belitung menuju Singapura pada 8 Maret lalu, Gubernur Provinsi Bangka Belitung (Babel), Rustam Effendi mulai memperketat pengawasan ekspor timah di pelabuhan untuk mencegah terjadinya kasus serupa.
“Kita berharap ekspor timah yang keluar dari pelabuhan sesuai dengan kesepakatan pemerintah provinsi dengan pengusaha timah. Jika disepakati 4.500 ton, maka timah yang keluar harus 4.500 ton,” kata Rustam, Selasa (24/3).
Ia mengaku prihatin dengan banyaknya dugaan tindakan penyelundupan baik timah maupun hasil produksi lainnya, seperti karet dan lada. Karena itu, Rustam memerintahkan dinas terkait dan semua pihak untuk memperketat pengawasan aktivitas ekspor hasil produksi dari Bangka Belitung. Sejauh ini, pihaknya telah bekerja sama dengan Polri, TNI Angkatan Laut, Bea Cukai, Adpel dan Pelindo.
“Pengawasan tidak hanya dilakukan di pelabuhan-pelabuhan resmi, tetapi juga pelabuhan tikus atau tidak resmi, sehingga tidak ada lagi praktik penyuludupan timah yang mengakibatkan harga timah anjlok,” ujarnya.
Rustam berharap, dengan adanya pengetatan ini semua pihak bisa mentaati aturan dan prosedur ekspor. Dengan begitu, nilai ekspor bisa meningkat yang tentu akan berdampak positif bagi daerah.
Pada 8 Maret lalu, TNI AL berhasil meringkus kapal yang mengangkut 176 peti kemas ukuran 20 kaki. Dalam dokumen disebutkan 134 peti kemas berisi timah, sembilan berisi lada, 13 berisi karet, dan 20 lainnya kosong. Keamanan Laut Armada RI Kawasan Barat mencegat kapal itu di Selat Riau, namun kapal dan tongkang baru bisa sandar di Pelabuhan Batu Ampar, Batam.
“Kami mendapat informasi, spesifikasi muatan kapal tidak sesuai ketentuan,” ujar Komandan Gugus Keamanan Laut Armada RI Kawasan Barat, Laksamana Pertama Harjo Susmoro.
Timah yang ditangkap di Kepulauan Riau disinyalir milik sejumlah perusahaan peleburan swasta yang ada di Bangka Belitung. Komandan Pangkalan TNI AL Batam, Kolonel Laut R Eko Suyatno menyebutkan ada dugaan sebanyak 28 perusahaan pemilik timah yang berkongsi dalam pengiriman timah secara ilegal itu.
“Tongkang itu memuat 3.800 ton, punya 28 smelter. Nilanya 85,8 kita USD, sekitar Rp.986 miliar,” katanya.