Jakarta – TAMBANG. Indonesia berjanji menurunkan emisi sebesar 29% di pertemuan Paris tahun lalu (COP 21). Salah satu caranya adalah dengan menggunakan energi baru dan terbarukan yaitu panas bumi (geotermal).
Dengan kapasitas geotermal sebesar 500 MW, emisi yang bisa dikurangi sebesar 3-5 juta ton CO2. “Namun harus disertai dengan pengurangan penggunaan energi minyak misalnya bahan bakar,” ujar Direktur Operasional PT Pertamina Geotermal (PGE) saat diskusi energi, di hotel Alia Cikini, rabu (31/8).
Pemerintah sendiri sebenarnya sudah menargetkan produksi energi geotermal sebesar 7241 MW pada tahun 2025 dan 17 GW pada tahun 2030. Sedangkan produksi geotermal nasional saat ini baru sebesar 5,303 GWH pada Juni 2016.
Untuk mengembangkan geotermal, Indonesia butuh banyak pemain yang berjalan seiring. Pasalnya untuk membangun geotermal dibutuhkan waktu yang lama hingga 7 tahun.
“Untuk membangun jalan 1 tahun, ngebor sumur untuk percobaan 1-2 tahun, mengembangkan sumur lain 3 tahun, lalu membangun pembangkit 2 tahun,” ujar Ali.
Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE mengatakan, potensi panas bumi di Indonesia sebesar 29,5 GW. Pemanfaatannya baru 1493,5 MW atau 5,05%.
Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) ada 69 WKP, 19 eksisting dan 15 yang baru.