Palembang, TAMBANG – Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) tercatat sebagai salah satu daerah lumbung batu bara di Indonesia. Namun, produksinya belum bisa optimal lantaran terganjal keterbatasan jalur logistik.
Menurut Kepala Dinas ESDM Sumsel, Hendriansyah mengatakan, sumber daya batu bara di Bumi Sriwijaya itu, tercatat sebesar 33,9 miliar ton dengan jumlah cadangan sebesar 9,3 miliar ton. Tahun lalu, produksi batu bara Sumsel mencapai 104,6 juta ton.
Angka produksi itu, kata Hendriansyah, bisa berkembang jika lumbung produksi tidak hanya berpusat di Lahat dan Muara Enim, tetapi melebar ke wilayah-wilayah lain, yang selama ini masih terganjal untuk dieksploitasi lantaran keterbatasan jalur logistik.
“Produksi terbesar batu bara di Sumsel masih terkonsentrasi di daerah Lahat dan Muara Enim. Sementara cekungan batu bara tersebar hampir di 9 kabupaten dan kota, termasuk Musi Banyusin, Musi Rawas Utara, Ogan Komering Ulu, yang hari ini belum maksimal produksinya. Penyiapan pengangkutan menjadi tantangan ke depannya,” ujar Hendriansyah dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) di Palembang, Kamis (25/7).
Ia mencontohkan, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang mendominasi produksi batu bara di Sumsel dengan capaian tahun lalu sebesar 41,9 juta ton, membutuhkan jarak angkut hingga 400 kilometer untuk sampai ke laut. Berkali-kali lipat bila dibandingkan dengan jalur logistik batu bara di Kalimantan, yang umunya berada di kisaran puluhan kilometer dan paling jauh sekitar seratusan kilometer.
“Batu bara Sumsel beda dengan Kalimantan terkait posisi dan lokasinya. Kita berada di tengah pulau yang jarak angkutnya ke pelabuhan jauh. PTBA hampir 400 kilometer ke Tarahan, ada juga yang diangkut ke Selat Bangka. Estafet kereta, tongkang dan mother vessel. Kalau dari sisi cadangan, kita bisa saja produksi seperti Kalimantan, kalau infrastruktur pengangkutannya tersedia,” tandasnya.
Selama ini, sektor batu bara berkontribusi signifikan terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tahun lalu, PNBP Sumsel dari batu bara mencapai hampir Rp 9 triliun. Dari angka itu, Rp 1,5 triliun di antaranya mengalir ke Provinsi Sumsel sebagai Dana Bagi Hasil (DBH), belum termasuk yang langsung ke kabupaten dan kota penghasil batu bara itu sendiri.
Kontribusi tersebut, sambung Hendriansyah, bakal semakin meningkat jika seluruh izin pertambangan di Sumsel dapat beroperasi. Saat ini, terdapat total 144 izin yang terdaftar, termasuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Sayangnya, dari angka tersebut hanya 68 izin yang mampu melakukan operasi produksi.
“Pada tahun 2023 DBH untuk provinsi sudah mencapai Rp 1,5 triliun, termasuk menjadi sumber APBD Sumsel. Izin yang produksi baru 46 persen. Ke depan kalau semuanya, setengahnya saja produksi, maka bisa tembus 150 juta ton. Dari produksi itu akan garis lurus dengan PNBP,” bebernya.
Lebih lanjut, di luar PNBP, sektor batu bara di Sumsel juga berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja dan pembangunan daerah melalui program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM).
“Kami coba hitung, yang terlibat di tambang hampir 88 ribu orang dari hulu sampai hilir. Sangat besar. Yang tidak kalah menariknya, perusahaan tambang diwajibkan PPM, tercatat di kami di 2024 total dari seluruh perusahaan menganggarkan Rp 162 miliar,” tandasnya.
Sebagai informasi, target produksi batu bara di Sumsel, tahun ini dicanangkan hingga 110 juta ton. Penambahan itu didukung dengan beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sumsel 8, yang proyeksinya membutuhkan pasokan sekitar 5 juta ton per tahun.
“Kita sudah operate 2×600 megawatt Sumsel 8 yang serapannya hampir 5 juta ton per tahun,” pungkas Hendriansyah.