Beranda Komoditi Faisal-Hatta Saling Tuding Soal Pelarangan Ekspor Bauksit

Faisal-Hatta Saling Tuding Soal Pelarangan Ekspor Bauksit

Foto Istimewa

Jakarta-TAMBANG. Pengamat ekonomi, Faisal Basri kembali menuding mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa sebagai dalang dibalik kacaunya industri bauksit nasional yang terjadi saat ini.

 

Senin (25/5) kemarin, saat bicara di seminar “Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia “, mantan ketua tim reformasi migas itu terang-terangan menyebut nama Hatta Rajasa sebagai biang keladinya.  Menurut Faisal, rumusan pelarangan ekspor larangan mineral mentah Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian dengan berbagai menteri terkait saat Hatta masih menjabat di sana.

 

Ia menilai, sejak diberlakukannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014, industri bauksit langsung terpuruk. Pasalnya semua perusahaan bauksit tak lagi diperbolehkan mengekspor bauksit yang merupakan bahan mentah pembuatan aluminium.

 

Faisal menjelaskan larangan ekspor bauksit itu merupakan permintaan perusahaan aluminium terbesar Rusia, yaitu UC Rusal, yang saat itu berencana menanamkan investasinya di Indonesia untuk membuat pabrik pengolahan bauksit (smelter alumina) di Kalimatan.

 

“Terus sekarang gimana, jangankan peletakan batu pertama, bau-baunya aja sudah tidak ada,” kata Faisal, Selasa (26/5).

 

Tidak terima, Hatta sempat membantah tudingan itu melalui akun Twitternya. Ia bilang, kebijakan bukan pesanan perusahaan alumunium asal Rusia, UC Rusal. “Apalagi sampai dikaitkan dengan perusahaan Rusal Rusia. Saya tidak bisa didikte asing untuk kepentingan nasional kita!,” tulis nya.

 

Menurut Hatta, larangan itu sudah tertuang dalam Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara yang harus dijalankan selambat-lambatnya 12 Januari 2014. “Sebagai Menko, adalah kewajiban saya untuk memastikan UU tersebut dapat dijalankan,” kata Hatta.

 

Terkait pembelaan itu, Faisal mengatakan peraturan yang dibuat pemerintah itu selalu berubah-ubah. Bahkan, Faisal tidak akan mundur dan lari dari permasalahan tersebut, sekalipun tudingan dirinya tidak sesuai dengan fakta, atau hanya sekedar cari sensasi. “Kalau ingin diapakan saya siap, saya tanggung jawab dengan apa yang saya katakan,” tantang Faisal.

 

Menurutnya, akibat pelarangan ekspor bauksit itu, sebanyak pasokan 40 juta ton bauksit dari industri nasional untuk dunia internasional menghilang. Dampaknya, harga alumina Rusal di dunia internasional melonjak.  “Sekitar 40 juta ton bauksit hilang di pasaran sehingga harga naik dan saham Rusal naik, untungnya ratusan juta dollar,” kata Faisal.   Sebaliknya, industri bauksit nasional justru kehilangan potensi devisa Rp 17,6 triliun per tahun, penerimaan pajak Rp 4,09 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 595 miliar.

 

Sementara itu, Fahmi Radhi, mantan anggota tim reformasi menuturkan bahwa ia tak sependapat dengan Faisal. Ia mengatakan, pencalonan Hatta saat Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu tidak ada kaitannya dengan aturan pelarangan ekpsor mineral mentah.   “Tidak ada data riil, yang dipermasalahkan Faisal bahwa Rusal tidak punya ijin tambang, tapi berkoar akan bangun smelter meski hingga kini Rusal tidak bangun smelter. Koaran itu sempat menaikan sahamnya,” pungkasnya.

 

Pada Februari 2014 Hatta Rajasa yang saat itu masih menjabat sebagai Menko Perekonomian memang menjadi saksi ketika Rusal melakukan tandatangan MoU dengan perusahaan tambang bauksit, PT Arbaya Energi untuk membangun pengolahan bauksit menjadi alumina. Dalam wawancara dengan Majalah TAMBANG saat itu, CEO Rusal, Oleg Deripaska mengakui, salah satu syarat pembangunan pabrik pengolahan adalah pelarangan ekspor bauksit mentah oleh pemerintah Indonesia. Namun hingga kini, rencana Rusal belum terlihat realisasinya.