Beranda ENERGI Migas Energi Harus Merangsang Pertumbuhan Ekonomi

Energi Harus Merangsang Pertumbuhan Ekonomi

Jakarta-TAMBANG– Konferensi dan pameran Indonesian Petroleum Asociation ke-39 kini memasuki hari kedua. Dalam konferensi yang digelar di Jakarta Convention Center ini dihadirkan beberapa stakeholder sektor migas termasuk para pengambil kebijakan. Dalam diskusi hari pertama kemarin (20/5) dihadirkan pembicara Dirjen Migas IGN Wiratmadja, Dirut PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto, Kepala Asia Pasifik WoodMackenzie Craig McMahon, dan Presiden IPA, Craig Stewart, dengan moderator John McCreery.

 

Dalam paparannya Dirjen Migas IGN Wiratmadja menggambarkan Indonesia sebagai Negara kepulauan yang masih belum mampu mandiri secara energi. Konsentrasi penyebaran energi terutama listrik masih terpusat di Jawa dan Bali. Padahal, Kalimantan yang menyimpan banyak cadangan gas justru tidak mampu memanfaatkan energi yang dimilikinya untuk membangun pembangkit listrik. “Maka harus ada perubahan paradigma. Energi bukan lagi komoditas untuk pendapatan negara tetapi untuk merangsang pertumbuhan ekonomi,” ungkap Wiratmadja.

 

Salah satu solusi yang ditawarkan Wiratmadja adalah mendorong agar eksplorasi migas tidak hanya dipusatkan di Indonesia bagian barat tetapi harus mulai didorong ke bagian timur. Ia juga mewanti-wanti agar produksi gas Indonesia tetap terjaga untuk menghindari krisis gas dalam waktu dekat. “Kita sudah net importer untuk minyak. Untuk gas, sangat mungkin kita mengimpor juga pada 2019,” jelas Wiratmadja.

 

Wiratmadja menilai ancaman krisis energi yang dihadapi Indonesia saat ini merupakan imbas tidak adanya penemuan cadangan migas baru dalam 15 tahun terakhir. Wilayah eksplorasi cadangan migas yang selama ini terpusat di wilayah barat Indonesia juga termasuk salah satu penyebabnya. Bahkan, 90 persen wilayah kerja migas berada di wilayah barat Indonesia. “Untuk itu perlu didorong ke wilayah timur. Namun, dibutuhkan teknologi tinggi dan investasi besar karena cadangan di sana kebanyakan di laut dalam,” ujarnya

 

Wiratmadja juga mengumumkan telah ditandatanganinya tujuh kontrak wilayah kerja migas baru, di samping empat wilayah kerja nonkonvensional seperti shale gas, shale oil, dan CBM di Sumatera.

 

Sementara di sektor hilir, pemerintah juga berjanji akan memperluas pembangunan infrastruktur migas yang selama ini terkonsentrasi di Pulau Jawa. Untuk itu, pemerintah mendorong pembangunan kilang regasifikasi LNG yang lebih banyak terutama di Indonesia bagian timur. “Ini adalah rencana kami untuk 15 tahun ke depan.Sama halnya dengan minyak. Kami berharap UU Migas akan mempercepat pengembangan pembangunan di Indonesia bagian timur. Prioritas utama kami adalah revisi UU Migas,” ujar Wiratmadja.

 

Dwi Soetjipto berpendapat, terdapat dua isu energi yang perlu dicermati. Yakni, isu terkait harga dan isu terkait ketersediaan dan kebutuhan energi. Khusus Pertamina, Dwi menekankan tiga poin utama yang sedang dihadapi perseroan. Pertama, profit yang menurun hingga 50% akibat turunnya harga minyak dunia. Kedua, kurangnya porsi keterlibatan Pertamina dalam industri migas ketimbang perusahaan migas asing. Ketiga, kerugian struktural di hilir sebagai akibat subsidi dan kurangnya investasi untuk membangun tangki penyimpanan. Bahkan, dalam 20 tahun terakhir, Pertamina tidak lagi membangun kilang pengolahan BBM.

 

Craig McMahon yang menjadi pembicara ketiga menilai aspek birokrasi dan kepastian hukum menjadi ganjalan yang paling sering ditemui perusahaan migas di Indonesia. Akibatnya, produksi migas dalam beberapa tahun terakhir terus menunjukkan penurunan. “Persaingan untuk investasi dolar tidak pernah lebih sulit daripada yang kita lihat saat ini. Inilah pesan untuk semua negara, termasuk Indonesia,” Wiratmadja.

 

Craig Stewart lebih optimistis Indonesia akan mampu keluar dari krisis energi. Hal ini karena pemerintahan Jokowi-JK memiliki keterbukaan dan mau mendekati perusahaan migas. Termasuk adanya kebijakan perizinan satu pintu migas yang baru saja diluncurkan pemerintah. “Investor harus mengapresiasi perubahan yang terjadi saat ini,” jelasnya.

 

Craig menambahkan, saat ini terdapat selisih besar pada pasokan minyak dan gas. Hal ini terjadi karena adanya impor minyak dan gas yang tidak seimbang. Belum lagi terkena dampak akibat pelemahan rupiah terhadap kurs dolar. Padahal, sambung Craig, industri minyak merupakan salah satu penopang pertumbuhan ekonomi di Indonesia. “Investasi, lapangan kerja, dan multiplier effect ekonomi yang lebih luas lagi,” katanya.

 

Karena itu, Craig menyarankan adanya kerja sama antara pemerintah dan perusaahaan migas untuk memenuhi kebutuhan energi domestik. “Tugas kita adalah menyediakan kebutuhan dosmestik,” papar Craig.