Jakarta, TAMBANG – Pemerintah tengah menggodok aturan pelarangan ekspor timah yang diprediksi akan rampung akhir tahun 2022. Sehingga pada tahun 2023, komoditas bersimbol Sn itu sudah bisa diolah di dalam negeri melalui hilirisasi di smelter masing-masing demi meningkatkan nilai tambah.
Hal tersebut disampaikan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. Menurutnya, saat ini pelaku usaha pertimahan sudah didorong untuk membangun smelter yang nantinya akan diberikan sejumlah insentif.
“Sekama lainnya akan kita beri insentif bagi perusahaan-perusahan yang membangun hilirisasi di sektor pertambangan termasuk timah. Capex timah itu lebih murah dibanding membangun hilirisasi nikel,” ujarnya dalam konferensi pers, dikutip Selasa (27/9).
Menurut Bahlil, perusahaan timah yang sudah memiliki smelter atau sedang membangun smelter dengan progres pengerjaan 80 persen, sudah berlaku untuk tidak melakukan kegiatan ekspor.
“Sekamanya mungkin pertama yang tidak melakukan ekspor adalah orang yang punya smelter atau 80 persen sudah bangun smelter,” bebernya.
Bahlil pun menjelaskan mengapa pemerintah mendesak untuk tidak melakukan ekpor timah lagi. Kata dia, hilirisasi timah dinilai lebih menguntungkan dibanding harus dijual ke luar negeri yang harganya sudah diatur oleh mereka.
“Timah itu negara penghasil timah terbesar di dunia itu adalah Cina, kedua Indonesia, tetapi eksportir timah terbesar di dunia itu Indonesia. Cina itu 80 persen timahnya dibangun di negaranya, dibangun hilirisasi,” paparnya.
“Kita enggak (hilirisasi-red). Sudah barangnya punya kita, harganya pun dikendalikan oleh negara lain. Ini otak kita ditaro di mana, kira-kira begitu,” imbuhnya.
Wacana pelarangan ekpor timah ini sempat disorot Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dan Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) beberapa waktu lalu. Menurut mereka, stop ekspor timah sebaiknya dilakukan secara bertahap dan seharusnya para pelaku usaha dilibatkan dalam pembuatan kebijakan ini.
“Persoalannya, penyerapan logam timah untuk kebutuhan domestik masih sangat kecil. Hal ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara industri hulu dengan hilir. Industri hulu timah berkembang pesat, sebaliknya hilir belum,” ujar Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Peningkatan Kualitas Manusia, Ristek dan Inovasi Kadin, Carmelita.
Meski begitu, Carmelita setuju dengan pengadaan infrastruktur dan insentif yang dinilai dapat menarik investor, serta menjamin mineral tersebut terserap pasar domestik. Di sisi lain, dia menegaskan bahwa hilirisasi ini juga membutuhkan roadmap sebagai guidelines atau petunjuk bagi para pelaku usaha.
“KADIN Indonesia mendukung penuh hilirisasi ini, namun hilirisasi timah ini harus dilakukan secara bertahap. Dalam melakukan hilirisasi, pelaku usaha membutuhkan persiapan yang matang dan modal yang cukup,” jelasnya.
Menanggapi hal itu, Bahlil menghargai kritik dan saran yang diajukan mereka, namun penataan timah melalui penyetopan ekspor dinilai lebih baik karena mampu mengakomodasi kepentingan negara.
“Saya menghargai teman-teman saya di kadin, tapi saya tidak terbuai dengan pikiran yang tidak berpihak kepada kepentingan negara. sekemanya kita tetap akan melakukan penataan terhadap ekspor, dan sekarang kita banyak perusahaan untuk cepat bangun hilirisasi,” pungkasnya.