Jakarta, TAMBANG – Pemerintah akan menerima konsekuensi dari pelarangan ekspor bijih bauksit yang sudah dimulai pada Sabtu (10/6) sekalipun dari World Trade Organization (WTO) jika suatu waktu menggugatnya. Ini sebagaimana terjadi pada komoditas nikel.
“Kalau nanti digugat ya kita gugat lagi,” ungkap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arfin Tasrif saat ditemui di Kementerian ESDM, Jumat lalu, (9/6).
Dia juga memastikan negara pengimpor bauksit menerima sikap dari Indonesia ini. Terlebih kepentingan tersebut untuk kemajuan industri di dalam negeri terkait percepatan hilirisasi bahan-bahan mentah atau raw material yang selama ini dijual ke luar negeri.
“Mudah-mudahan enggak ada, ngerti dong negara buyer. Masa kita disuruh jual barang mentah batu-batuan begitu. Nanti bauksit bisa balik lagi enggak barangnya itu kalau kita udah gali,” beber dia.
Indonesia sendiri merupakan pengekspor bauksit terbesar kedua dunia setelah Australia. Sejak tahun 2017, bauksit domestik dijual ke Tiongkok.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor bijih bauksit Indonesia senilai USD623 juta pada 2022. Angka ini turun 0,82% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar USD628,18 juta.
WTO sendiri pernah menggugat Indonesia atas desakan Uni Eropa lantaran ekspor nikel dihentikan pada tahun 2020. Alasan RI kalah atas gugatan Uni Eropa itu karena fasilitas pemurnian dan peleburan nikel di dalam negeri untuk kebutuhan hilirisasi dinilai belum matang.
Meski gugatan dimenangkan WTO pada Oktober 2022, RI masih berhak melarang ekspor komoditas berwarna keperak-perakan itu.
Sementara, larangan ekspor raw material memang menjadi prioritas pemerintah yang tertuang dalam UU Minerba nomor 3 tahun 2020 atas perubahan UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Beleid ini mengamanatkan agar tidak lagi melakukan ekspor bahan mentah.