Jaarta,TAMBANG,-Bertepatan dengan momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 2022, Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung melaksanakan kegiatan Pengukuhan Himpunan Mahasiswa Magister Hukum Progresif (HIMMAPRO). Kegiatan ini dilanjutkan dengan Dialog Publik bertemakan “Ekosistem Pertimahan Ideal Menuju Kedaulatan Timah Indonesia”. Hadir dalam diskusi ini dua narasumber yakni PJ Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Dr. Ir. Ridwan Djamaluddin, M.Sc, dan Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H.
Dalam sambutan pengukuhanya, Dekan Fakultas Hukum, Dr. Derita Prapti Rahayu menyampaikan bahwa dinamika perkembangan hukum Indonesia yang terus berhadapan dengan tantangan perubahan, menuntut hadirnya insan hukum yang berwatak progresif. Untuk itu, ia meminta agar HIMMAPRO dapat menjadi wadah bersatu bagi insan-insan progresif, sebagaimana yang diamanahkan oleh Prof. Satjipto Raharjo, pelopor pemikiran hukum progresif Indonesia.
Sementara itu, Ketua Jurusan Magister Hukum UBB, Dr. Faisal, S.H., M.H menyampaikan bahwa HIMMAPRO merupakan organsiasi intelektual yang diorientasikan untuk mampu mengurai berbagai problematika dan tantangan hukum Indonesia di masa mendatang. HIMMAPRO diharapkan mampu secara aktif mengadvokasi masyarakat, menyampaikan kritik, saran, pemikiran, dan berkontribusi dalam pembangunan hukum Indonesia.
Kegiatan yang hadiri oleh perwakilan pemerintah provinsi, pimpinan organisasi pemuda dan kemahasiswaan, akademisi, praktisi, serta tokoh-tokoh masyarakat ini dipimpin oleh Ketua Pelaksana dari HIMMAPRO, Ibrohim, S.H. Juga ada 30 mahasiswa Magister Hukum yang dikukuhkan sebagai bagian HIMMAPRO dengan Ketua Umum, Muhammad Wirtsa Firdaus, S.E., M.H.
Jalan Terang Pertimahan Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak diatas zona pertemuan lempeng dunia, atau dikenal sebagai area cincin api (ring of fire). Posisi geografis ini memberi keuntungan bagi Indonesia dengan banyaknya aktivitas tekto-vulkanik yang berimplikasi pada melimpahnya sumber daya mineral, termasuk diantaranya adalah timah. Ridwan Djamaluddin dalam paparannya mengataan sepanjang pandemi COVID-19, Indonesia memperoleh keuntungan pendapatan negara yang sangat signifikan dari sektor pertambangan.
Aktivitas pertambangan dan peningkatan permintaan terhadap timah serta sumber daya alam lainya adalah dampak langsung dari perkembangan teknologi dan kebutuhan membangun peradaban. Untuk itu, pertambangan adalah hal yang tidak dapat dihindari. Menolak penambangan sama artinya dengan menolak kemajuan peradaban.
Meski demikian, aktivitas pertambangan senantiasa memiliki dua sisi yang saling berkaitan, antara prospek keuntungan ekonomi dan potensi kerusakan lingkungan. Keberadaan aktivitas pertambangan secara langsung berdampak pada terjadinya perubahan lingkungan, meski apabila dilakukan dengan mekanisme yang tepat, perubahan tersebut tidak linear dengan kerusakan alam. Hal yang terpenting ialah bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat menyeimbangkan kedua realitas tersebut secara inklusif. Pembangunan dan perlindungan lingkungan untuk mendorong pencapaian kedaulatan rakyat terhadap timah dan sumber daya alam.
Kedaulatan timah sebagai wacana yang terus berdiskurus dewasa ini, dapat diartikan dalam beberapa dimensi pengertian yang berbeda. Bagi pemerintah, kedaulatan berarti pelaksanaan regulasi sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperoleh kepastian hukum. Bagi pelaku usaha, kedaulatan berarti kemudahan akses dan perlindungan usaha untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Sedang bagi masyarakat, kedaualatan diartikan dengan seberapa besar dampak yang dihasilkan dari pertambangan timah terhadap kesejahteraan rakyat.
Dalam bahasa pakar huum pertambangan Abrar Saleng prinsip kedaulatan yang ketiga ini, beririsan dengan teori utilitariansme Jeremy Bentham. Artinya timah dapat dikatakan telah berdaulat apabila manfaatnya telah dirasakan oleh sebagian besar penduduk Bangka Belitung.
Saat ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya rekayasa kebijakan untuk mengoptimalisasi pemanfaatan timah di Bangka Belitung. Dalam survei terbaru, cadangan timah yang diketahui saat ini dapat terus ditambang hingga 35 tahun mendatang. Juga berpotensi lebih lama apabila dilakukan penelitian untuk menemukan cadangan timah yang baru. Potensi ini harus dibarengi dengan penyiapan hilirisasi timah, agar pemanfaatan tidak berhenti sampai di hulu, melainkan juga hingga industri hilir.
Melalui UU No.3 Tahun 2020 tentang Minerba, pemerintah pusat telah mendelegasikan sebagian kewenangan kepada Pemda dalam pengelolaan timah. Ini diperjelas dengan Perpres No.55 Tahun 2022. Hal ini adalah kesempatan bagi masyarakat Bangka Belitung untuk memperoleh manfaat yang lebih besar, terutama melalui upaya pembangunan smelter yang lebih besar dan industri lanjutan untuk meningkatkan nilai tambah dari bijih timah.
Hilirisasi menjadi kebijakan yang sangat penting lantaran dewasa ini penguasaan teknologi telah mengubah paradigma produksi tambang negara-negara di dunia. Banyak negara yang memperoleh manfaat lebih banyak dari sektor tambang daripada negara yang menghasilkan tambang itu sendiri. Hal ini lantaran negara kedua memainkan peran perdagangan dan industri berteknologi mutakhir, sedangkan negara produsen memperoleh keuntungan dengan menggali. Akibatnya, keuntungan sektor tambang kerap lebih bermanfaat bagi negara lain.
Proses hilirisasi timah yang sedang dicanangkan pemerintah harus mengikuti jejak hilirisasi nikel yang telah berhasil dilakukan. Pemerintah harus mampu meningkatkan nilai tambah dengan mempersiapkan insfatruktur industri yang dapat mengelola timah sebelum di ekspor keluar negeri. Penguasaan teknologi menjadi unsur yang sangat penting.
Selain itu, pemerintah juga harus secara jeli mengikuti perkembangan ekonomi diluar faktor internal, misalnya penetapan kebijakan nikel yang menyesuaikan dengan fluktuasi politik pertambangan di Tiongkok dan negara-negara lain. Dengan demikian, pemerintah dapat menetapkan kebijakan yang strategis dan hati-hati, serta membuka peluang keuntungan yang lebih besar.
Selain proses hilirisasi tambang, pemerintah dan masyarakat juga harus mulai bersiap untuk memanfaatkan potensi logam tanah jarang (LTJ) yang banyak terdapat di Bangka Belitung, salah satunya adalah thorium. Saat ini, PLTT sedang dipersiapkan pilot project-nya di pulau Gelasa. Thorium adalah sumber energi yang aman, bersih, tidak dapat dipergunakan sebagai senjata, dan berpotensi menjadi penghasil listrik yang prospektif dengan harga murah.
Untuk itu, perlu upaya kolektif dari semua pihak guna menghalau misinformasi terkait PLTT. Pembangunan PLTT dapat mendorong Bangka Belitung sebagai daerah penghasil listrik yang besar sekaligus mendorong percepatan pembangunan daerah.
Melanjutkan materi yang disampaikan oleh PJ Gubernur Bangka Belitung, Guru Besar FH UNHAS ini menyampaikan bahwa instrumentasi yang dapat digunakan dalam menjamin kedaulatan timah di Bangka Belitung adalah dengan formulasi hukum. Hal ini selaras dengan tujuan keberadaan dari hukum itu sendiri. Sebagaimana dijelaskan dalam filsafat Gustav Redbruch, bahwa terdapat tiga tujuan hukum yang utama, yakni keadilan yang beresensikan keseimbangan, kemanfaatan yang berarti bahwa hukum harus memberi manfaat bagi sebanyak mungkin orang, dan kepastian hukum. Timah adalah anugrah dari Tuhan YME, memanfaatkan timah dengan baik adalah juga bentuk dari mensyukuri nikmat-Nya.
Dalam pandangan Prof. Abrar, terdapat tiga aspek yang sangat fundamental dalam pembangunan, yakni sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya sosial. Ketiga aspek ini harus dijalankan secara seimbang. Saat sumber daya alam berkurang, maka sumber daya manusia harus meningkat. Tanpa keseimbangan tersebut, kehidupan masyarakat akan cenderung tidak stabil.
Untuk itu, sebelum sumber daya alam timah habis, perlu dipastikan bahwa masyarakat Bangka Belitung telah sepenuhnya berdaulat. Atas dasar kepentingan tersebut, terdapat dua kata kunci yang harus menjadi pedoman dalam pengelolaan pertambangan timah di Bangka Belitung. Pertama, transformasi dari pemanfaatan sumber daya alam timah harus mampu meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia di Bangka Belitung. Kedua, masyarakat kepulauan Bangka Belitung harus sejahtera dan bahagia lebih awal dari pemanfaatan timah dan mineral ikutan lainya.
Saat ini, masalah yang masih menjadi tantangan bagi pertambangan timah di Bangka Belitung adalah masalah lingkungan, masalah sosial, dan masalah legalitas. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menemukan solusi bagaimana agar masyarakat tidak menjadi penambang ilegal. Untuk itu, Prof. Abrar merekomendasikan lima solusi yang dapat diterapkan dalam mewujudkan ekosistem ideal dalam mewujudkan kedaulatan timah.
Pertama, tanah milik rakyat Kep. Bangka Belitung yang dibawahnya terdapat potensi mineral timah, idealnya dijadikan saham (share) bagi pemilik tanah dengan perusahaan tambang timah, sehingga berhenti melakukan penambangan tanpa izin. Kedua, bagi masyarakat illegal mining agar menjadi tenang dan aman, dan memiliki tanggungjawab lingkungan perlu diberikan legitimasi yang legitim melalui kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah dengan pertimbangan kemanusiaan. Ketiga, Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) melalui dana CSR badan usaha harus meningkat dan berkelanjutan.
Keempat, pemanfaatan Smelter PT. Timah, Tbk seyogyanya diposisikan sebagai orang tua asuh bagi penambang lokal dengan pola kemitraan yang berimbang dan berkeadilan. Kelima, dengan pemanfaatan smelter baru PT. Timah, Tbk yang akan diresmikan akhir tahun ini, Indonesia sebagai penghasil timah nomor dua di dunia dapat menjadi pengendali/penentu harga logam timah dunia.
Sebagai penutup, Prof. Abrar mengharapkan agar Universitas Bangka Belitung dapat menjadi pusat pengkajian pertambangan timah, melahirkan akademisi yang kompeten, berkapabilitas tinggi, dan mampu berperan aktif dalam mendorong upaya mencapai kedaulatan timah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di Bangka Belitung.