Beranda Tambang Today Draft RUU Minerba Untungkan Asing?

Draft RUU Minerba Untungkan Asing?

Acara Corner Talk bertema 'Apakah RUU Minerba Untuk Kepentingan Nasional ?' di Jakarta, Kamis (24/5).

Jakarta, TAMBANG – Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang masih digodok di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, semakin dicurigai menguntungkan perusahaan asing.

 

Para praktisi pertambangan menyebutkan,  hal itu tercium dari beberapa pasal  dari RUU Minerba yang muncul dari DPR, diduga menguntungkan perusahaan asing. Salah satunya,  munculnya pasal 169A  hingga pasal 169E yang terkait dengan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

 

Dalam lembaran revisi RUU Minerba yang beredar saat ini, dimunculkan beberapa pasal tambahan. Contoh yang terlihat, di antara pasal 169 dan pasal 170, disisipkan lima pasal tambahan, yaitu pasal 169A hingga 160E.  Tambahan pasal ini, yang kemudian memunculkan ‘bau’ perlindungan terhadap kepentingan asing di Indonesia.

 

Tertulis dalam revisi RUU Minerba yang beredar, pasal 169A ayat 1 berbunyi, “Dalam hal kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud dalam pasal 169 huruf a berakhir , pemegang kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara memiliki hak untuk mengusahkan kembali Wilayah Pertambangan tersebut dalam bentuk IUPK perpanjangan untuk jangka waktu paling lambat 2 (dua) kali 10 (sepuluh tahun).”

 

Kemudian ayat 2 pasal 169A berbunyi, “Kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah melakukan penyesuaian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 169 huruf b diberikan hak  untuk mengusahakan kembali Wilayah Pertambangan dengan diberikan IUPK dengan luas wilayah  sesuai dengan rencana kerja seluruh wilayah tambang yang telah disetujui dalam penyesuaian kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara”

 

Tentu saja, dengan munculnya pasal-pasal tersebut, PT Freeport Indonesia kemudian menjadi sorotan publik. Sebagaimana diketahui, saat ini Freeport adalah satu-satunya KK yang belum berubah jadi IUPK. Dengan beleid tersebut,  Freeport menurut para praktisi pertambangan dalam diskusi Corner Talk “Apakah RUU Minerba untuk Kepentingan Nasional?” pada Kamis (24/5), dinilai berhak melanjutkan usahanya hingga 20 tahun setelah kontraknya berakhir. Artinya, Freeport tetap akan beroperasi hingga tahun 2041.

 

Padahal berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.25/2018 yang terbit baru seumur jagung, Freeport semestinya menyerahkan mayoritas sahamnya kepada pemerintah paling lambat pada 2019. Permen ini mengamanahkan agar upaya divestasi 51 persen saham Freeport tercapai.

 

“Saya kira kalau ini diundangkan bisa menjadikan pemerintah tidak bisa menekan lagi. Ini aneh kenapa DPR ngotot harus secepatnya diproses. Ada keinginan ini diloloskan sebelum divestasi selesai,” ujar Direktur Centre of Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss), Budi Santoso kepada tambang.co.id, Kamis malam (24/5).

 

Selain soal divestasi, hal lain yang jadi sorotan ialah terkait hilirisasi. Disebutkan dalam pasal 170A, sebagai pasal tambahan antara pasal 170 dan pasal 171, disebutkan KK diperbolehkan mengekspor produknya dengan cacatan sudah melakukan pemurnian di dalam negeri untuk jangka waktu dua tahun dan wajib membayar bea keluar. Batas minimal kadar murni hanya dipatok hingga konsentrat 75 persen.

 

Ya itu jelas, Freeport akhirnya tidak punya kewajiban (bangun smelter). Dia bisa ekspor,” sambung Budi Santoso.

 

Seperti diketahui, selama ini Freeport mengaku sudah melakukan pemurnian konsentrat hingga sekitar 95 persen.  Jadi, Freeport sangat mumpuni untuk memenuhi kriteria dalam pasal 170A revisi RUU Minerba ini.

 

Hal senada disampaikan juga oleh praktisi pertambangan sekaligus mantan Direktur Krakatau Steel, Satya Sumantri. Menurutnya, batas 75 persen itu masih jauh dari pengertian murni.

 

“Jadi baru konsentrat saja sudah nilai tambah. Dengan definisi 75 persen ini, Freeport baru buat konsentrat sudah bisa diekspor,” beber Satya.

 

Kata pakar Metalurgi ini, konsentrat merupakan mineral yang masih tergolong mentah. Baginya, tidak layak memproduksi konsentrat, disebut sudah melakukan pemurnian.