Jakarta-TAMBANG. Sampai saat ini Pemerintah belum mengambil keputusan terkait pengelolaan blok Mahakam. Berlarutnya pengambilan keputusan ini diyakini bakal berdampak pada iklim investasi khusus di sektor migas. Anggota DPR RI Komisi VII Dito Ganinduto mengakatakan tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk terus menunda pengambilan keputusan.
“Pemerintah seharusnya segera mengambil keputusan terkait pengelolaan Blok Masela. Kalau tidak segera memutuskan sementara dengan tren harga minyak seperti sekarang ini bisa jadi nanti menjadi tidak ekonomis untuk dikembangkan,”kata Dito.
Menurutnya keputusan ini sebenarnya menjadi kewenangan Kementrian ESDM setelah mendapat rekomendasi dari SKK Migas. Namun karena beberapa alasan dinaikan ke level Presiden yang memutuskan. “Seharusnya Presiden berpegang pada rekomendasi dari Kementrian ESDM dan SKK Migas yang mendapat secara regulasi bertanggungjawab. Sementara kalau ada masukan dari pihak lain bisa masuk dalam pertimbangan. Jangan sampai masukan tersebut malah membuat Pemerintah lamban dalam mengambil keputusan tersebut,”kata Dito.
Ia pun mengingatkan bahwa Indonesia selama ini sebenarnya punya dua proyek besar di sektor migas yakni megaproyek laut dalam atau Indonesia Deepwater Development (IDD) milik Chevron Indonesia Company. Namun proyek ini menjadi tidak dilanjutkan dengan alasan tidak ekonomis seiring melemahnya harga. Hal ini juga karena lambannya pengambilan keputusan. “Saya tidak punya interest di sana dan yang berkepentingan adalah Inpex dan Shell. Tetapi Pemerintah harus segera memutuskan karena kalau terlalu lama bisa saja nasibnya akan sama dengan proyek IDD yang sekarang ini tidak jelas,”katanya.
Jika itu yang terjadi tentu saja Indonesia akan kehilangan investasi besar. Apalagi dalam kondisi sekarang ini invstasi di sektor migas sedang mengalami tantangan. “Dalam situasi seperti sekarang ini kita sedang sulit mendapat investasi sementara yang sudah ingin berinvestasi malah dirongrong,”kata Dito.
Selain itu Dito situasi seperti ini akan berdampak pada iklim investasi yang semakin tidak menarik buat investor. “Indonesia sekarang ini ada diurutan 13 terbawah terkait iklim investasi di sektor migas. Itu yang harus mendapat perhatian Pemerintah. Jangan sampai situasi sekarang ini semakin membuat Indonesia tidak menarik dimata investor karena adanya ketidakpastian hukum. Padahal kita membutuhkan investasi,”lanjut Dito.
Sementara Ketua Komisi VII Gus Irawan meminta dalam memutuskan mekanisme pengelolaan Blok Masela, Pemerintah harus solid dan tidak membuat pernyataan yang saling bertentangan. “Jangan sampai ada yang mengatakan sudah diputuskan namun kemudian dibantah lagi oleh pihak lain. Pemerintah harus solid dan memutuskan sesuai kajian dalam berbagai aspek tidak hanya teknis. Dan lebih penting lagi viewnya harus jangka panjang,”kata Gus.
Ia berharap karena ini proyek besar, masyarakat lokal diberi porsi yang lebih besar untuk terlibat di sana sehingga manfaat yang diterima pun makin besar. “Saya berharap agar proyek ini menjadi perekat dan melibatkan pelaku usaha lokal yang lebih banyak. Untuk apa kita pakai yang dari luar negeri sementara yang dalam negeri sudah punya kemampuan,”kata Gun.
Di tempat lain Berly Martawijaya, ekonom dari Universitas Indonesia (UI) berharap Pemerintah secepatnya memutuskan terkait pengembangan blok Masela. “Sekarang ini orang lupa pada aspek lain bahwa semakin lama menunda keputusan, maka Shell dan Inpex harus menanggung cost of delay yang cukup besar. Karena kedua perusahaan tetap membayar gaji karyawan dan berbagai kegiatan operasional lainnya,”kata Berly.
Selain itu berlarutnya penyelesaikan rekomendasi pengelolaan Blok Masela akan menjadi preseden buruk bagi iklim investasi di sektor minyak dan gas. “Sebenarnya dari sisi aturan keputusan terkait hal ini hanya sampai di Kementrian ESDM dan SKK Migas. Namun sekarang harus sampai di Kemenko dan bahkan menunggu Presiden Joko Widodo. Ini menjadi preseden buruk bagi iklim investasi di sektor migas,”katanya.
Dalam beberapa tahun terakhir data SKK Migas menerangkan bahwa investasi sektor migas menurun selain karena kondisi harga minyak dunia yang melemah juga karena tidak adanya kepastian hukum. “Investor akan ragu berinvestasi di Indonesia dengan melihat perusahaan yang sudah ada dan siap beroperasi di Indonesia masih mengalami ketidakpastian hukum. Mereka yang hendak masuk menjadi ragu. Pengelolaan Blok Masela bisa menjadi referensi investor untuk melihat iklim investasi di sektor migas,”katanya lagi.
Sementara terkait apakah dengan menggunakan kilang terapung atau dilakukan di darat, Berly menambahkah satu hal yang juga harus mendapat perhatian. “Daerah ini tergolong dalam daerah rawan gempa. Dalam tahun ini saja sudah kurang lebih lima kali terjadi gempa yang tergolong besar. beberapa kali terjadi gempat dengan kekuatan 5 skala richter bahkan ada yang mencapai 6 skala ricter. Sementara pipa ini bukan terbuat dari karet. Seberapa jauh infrastruktur ini bisa bertahan. Itu juga yang harus dijawab,”ungkap Berly.
Dalam nada yang hampir sama Komaidi Notonegoro dari ReforMiner Institute mengatakan bahwa jika proyek ini mengalami penundaan karena lambatnya Pemerintah mengambil keputusan tentu saja Pemerintah dan Shell dan Inpex. “Yang rgui tentu kedua belah pihak karena pihak pengusaha masih harus tetap membiayai operasional. Namun semua itu akan masuk dalam cost recovery yang pada akhirnya harus dibayar Pemerintah,”katanya.