Beranda ENERGI Energi Terbarukan Dianggap Pesanan Oligarki, Sejumlah Tokoh Serukan Tolak Skema Power Wheeling RUU EBET

Dianggap Pesanan Oligarki, Sejumlah Tokoh Serukan Tolak Skema Power Wheeling RUU EBET

Skema Power Wheeling

Jakarta, TAMBANG – Sejumlah tokoh dan akademisi menyerukan untuk menolak penerapan skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Hal ini disampaikan dalam diskusi publik bertajuk Tolak Penerapan Skema Power Wheeling dalam RUU EBET di Jakarta, Selasa (3/9).

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menyebut skema Power Wheeling di RUU EBET sarat kepentingan oligarki. Karena itu, dia mendorong Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menolak skema tersebut.

“Prabowo sebagai presiden terpilih mestinya sejak sekarang sudah mulai berbuat bagi negara dan rakyat, agar skema tidak adil, liberal, pro oligarki dan pro asing ini tidak diimplementasikan dalam UU EBET,” ungkap Marwan.

Marwan menjelaskan, di samping melanggar konstitusi dan berbagai peraturan yang berlaku, penerapan Power Wheelng juga akan merugikan keuangan negara dan BUMN, serta akan menambah beban biaya hidup masyarakat.

“Khusus tentang skema Power Wheeling, di samping melanggar konstitusi dan berbagai peraturan yang berlaku, penerapan skema ini juga akan merugikan keuangan negara dan BUMN, serta akan menambah beban biaya hidup rakyat,” jelasnya.

Kata Marwan, skema Power Wheeling memberi kesempatan perusahaan swasta atau Independent Power Producer (IPP) memangsa para pelanggan premium PLN yang umumnya butuh daya tinggi dan membayar tagihan listrik besar. Hal ini akan merugikan dan mengurangi pendapatan PLN, sehingga kemampuan cross-subsidy kepada rakyat miskin dan tertinggal berkurang, tarif listrik naik dan beban subsidi energi APBN meningkat.

“Pemaksaan kebijakan skema PW diduga sarat moral hazard. Tindakan moral hazard ini dapat pula dilanjutkan dengan pembangunan pembangkit listrik EBET milik swasta atau IPP tanpa peduli kondisi over supply listrik, atau menyuntik mati PLTU-PLTU yang sebenarnya masih layak operasi dan layak ekonomi. Maka, beban biaya operasi PLN akan naik signifikan, dan berujung pada naiknya tarif listrik rakyat dan beban subsidi listrik APBN meningkat,” ucapnya.

Power Wheeling di RUU EBET Picu Liberalisasi Sektor Ketenagalistrikan

Dosen Program Magister Energi Baru Terbarukan Universitas Darma Persada, Riki Ibrahim menyebut skema Power Wheeling menyebabkan disparitas harga listrik lebih mahal dari yang telah diregulasikan oleh Pemerintah. Ini akan mengakibatkan permasalahan baru yang dapat merugikan pemasukan negara.

“Disparitas harga listrik yang lebih mahal dari apa yang telah diregulasikan oleh Pemerintah, akan mengakibatkan permasalahan baru yang dapat merugikan pemasukan negara,” ucap Riki dalam kesempatan serupa.

Riki menegaskan, Power Wheeling diperkenankan hanya untuk pembangkit atau penjual energi terbarukan. Pihak pembelinya pun dalam satu badan usaha sehingga tidak terjadi pasar bebas.

“Power Wheeling malahan memicu terjadinya “power trading” dalam wilayah usaha PLN. Terkecuali, tidak ada PLN pada kawasan pihak pembeli listriknya itu, maka pihak Pembangkit/penjual ET dapat menjual kepada pihak pembelinya,” beber Riki yang juga mantan Dirut GeoDipa Energy.

Dosen Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI), Kholid Syeirazi menilai pasal Power Wheeling di RUU EBET bagian terselubung untuk meribelalisasi sektor kelistrikan nasional melalui agenda transisi energi.

“Power Wheeling itu selubung parsial dari agenda liberalisasi yang menunggangi agenda transisi energi. Itu kesimpulan saya,” ungkap Kholid.

Jika diterapkan, kata Kholid, setidaknya ada tiga dampak negatif dari Power Wheeling ini yakni menggerus pelanggan PLN, stagnasi jaringan transimisi dan distribusi, serta kenaikan over supply sekaligus beban take or pay (TOP) yang harus ditanggung PLN.

“Dampaknya ada tiga kalau ini diakomodasi. Pertama kalau itu dipaksakan pasti akan menggerus pelanggan PLN. Kedua, dampak kalau Power Wheeling diberlakukan adalah stagnasi jaringan transmisi dan distribusi listrik. Ketiga, kenaikan over supply sekaligus beban TOP PLN,” ungkap dia.