Jakarta-TAMBANG.Muara dari kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) adalah masyarakat yang berdaya. Oleh karenanya proses dan kegiatan CSR diharapkan mengarah pada pemberdayaan. Angka partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan CSR juga harus tinggi.
Senyum tulus anak-anak Desa Wisata Ciburial, Garut siang itu menghilangkan rasa lelah. Mereka berbaris sambil bernyanyi menyambut serombongan awak media yang bekesempatan mengunjungi desa wisata ini. Sambil menikmati secangkir teh ditemani makanan tradisional hasil olahan masyarakat, pengunjung disuguhkan tarian dan permainan tradisional seperti engklek dan dakon di tanah lapang yang dimainkan anak-anak, diiringi alunan musik khas Sunda nan merdu.
Usai anak-anak mementaskan tarian dan permainan tradisional, acara berikut yang tidak kalah menarik siap digelar. Pentas lomba ketangkasan domba menjadi pertunjukan selanjutnya.
Domba-domba digiring ke arena dan mulai diadu satu lawan satu. Bunyi kepala domba yang beradu sesekali membuat yang menyaksikannya ngeri. Konon dalam pentas adu ketangkasan domba ini yang paling bagus adalah domba yang melakukan awalan yang paling jauh.
Inilah penggalan kisah menarik dari kunjungan ke Desa Wisata Ciburial, Kabupaten Garut. Sebuah lokasi yang kini menjelma menjadi sebuah desa wisata eco-budaya yang didirikan dengan tujuan melestarikan budaya lokal. Tidak hanya aspek budaya yang dijaga, ekonomi masyarakat pun diperhatikan.
Desa ini merupakan salah satu desa binaan PT Chevron Geothermal Indonesia,Ltd lewat kegiatan CSR atau yang dilingkup perusahaan lebih populer disebut sebagai Social Investment. Di kisahkan sejak tahun 2010 perusahaan yang mengelola proyek PLTP Darajat ini mendampingi masyarakat desa dalam mengembangkan konsep desa wisata.
****
Desa Wisata Ciburial sebenarnya hanya salah satu contoh dari berbagai kegiatan CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan. Belum lagi dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ditegaskan setiap perusahaan yang bergerak di bidang ekstraksi sumber daya alam wajib melaksanakan kegiatan CSR. Biasanya tiga bidang ini yang selalu menjadi pilihan utama yakni pendidikan, kesehatan dan perekonomian.
Di dunia industri migas dan pertambangan CSR sebenarnya bukan hal yang baru. Namun harus diakui dari waktu ke waktu pemahaman dan pelaksanaan program CSR terus mengalami perkembangan. Jika diawal CSR hanya dilihat sebagai charity, tanda belaskasihan perusahaan, seiring waktu pemahaman ini mulai bergeser. CSR telah menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan perusahaan. CSR tidak lagi hanya sebagai kegiatan tambahan tetapi telah menjadi salah satu yang utama.
Apalagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas dan tambang lebih banyak ada di daerah terpencil dengan masyarakat masih sederhana. Kehadiran industri migas yang dikenal dengan nilai investasi besar pasti membawa perubahan pada wilayah tersebut. Ada pengaruh positif yang dihasilkan mulai dari peningkatan pendapatan daerah, peningkatan perekonomian masyarakat sekitar lokasi sampai pada perbaikan infrastruktur.Perusahaan membangun jalan yang juga dimanfaatkan oleh masyarakat.
Namun tidak terbantahkan perusahaan migas dan tambang juga terpapar dengan isu seputar perubahan pola mukim, masalah lingkungan bahkan kesenjangan sosial antara masyarakat setempat dengan perusahaan. Ini yang kalau tidak dikelola menjadi potensi konflik.
Dalam situasi seperti ini, kegiatan CSR bisa menjadi “Obat” manjur peredam konflik. Risna Resnawati, Pakar CSR dari Universitas Padjajaran mengatakan kegiatan CSR perusahaan migas seharusnya mulai dilaksanakan sejak awal operasi. Ada ungkapan yang bisa mewakili hal ini, Andil dahulu baru Ambil.
“Mungkin untuk kegiatan awal ini, tidak masuk dalam pos anggaran CSR tetapi masuk sebagai bagian dari biaya operasional. Tujuannya tidak lain untuk mendapatkan community lincence,”terang Risna.
Menurut Risna kegiatan CSR yang benar harus mampu memberi dampak positif baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi. “Kegitan CSR yang dilakukan perusahaan harus ada dampak positif secara ekonomi, diterima masyarakat dan berwawasan lingkungan,”terang Risna yang kini berprofesi sebagai dosen jurusan Kesejahteraan Sosial di Fisip Unpad.
Di sektor migas Risna mencatat ada perubahan besar dalam pelaksanaan kegiatan CSR ketika BP Migas dibubarkan dan diganti dengan SKK Migas. Ditambah lagi sejak 2008, dana CSR tidak masuk dalam cost recovery. Konon karena ada penyelewengan dimana kegiatan non CSR dimasukan sebagai kegiatan CSR.
Perubahan ini kemudian membuat beberapa perusahaan migas menghilangkan beberapa kegiatan CSR karena sudah tidak masuk dalam Cost recovery. Ini yang oleh Risma disebut sebagai tipe ekonomis. Namun ada juga perusahaan yang masih tetap melakukan kegiatan yang sama bahkan lebih fleksibel dan kreatif meski tidak masuk cost recovery.
Meski telah banyak yang mengalami kemajuan dalam penerapan kegiatan CSR. Namun itu tidak semua perusahaan. Oleh karenanya Risna yang menyelesaikan program doktoral di Universitas Indonesia membagi tiga bentuk CSR yakni, community assistance, community relation dan community empowerment.
Di tahap pertama, sifatnya hanya membantu dan megandalkan kebaikan hati perusahaan. Ini pendekatannya lebih pada kedermawanan perusahaan, filantropi. Pada tahap ini, tidak ada pendampingan yang dilakukan, masyarakat juga tidak diminta mengembalikan pinjaman.
Ketika ada kegiatan, masyarakat mengajukan proposal dan perusahaan memberi bantuan sejumlah dana. Beberapa bidang yang dilayani seperti pendidikan, kesehatan, sumbangan sembako dan tambahan modal bagi usaha.
Bentuk selanjutnya community relation, motif utamanya membangun relasi yang baik dengan masyarakat juga pemerintah setempat. Perusahaan mulai terlibat dalam pembangunan guna menyokong APBD di wilayah yang tidak cukup. “Ini tidak salah, karena mau tidak mau, perusahaan-apalagi perusahaan migas-,image-nya harus bagus. Dengan image yang bagus, hubungan dengan pemangku kepentingan pun menjadi lebih baik,” tuturnya.
Fokus dari kegiatan ini lebih diarahkan pada hubungan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat sekitar. Perusahaan mulai rajin memberikan sumbangan pada acara keagamaan, aktivitas gathering bersama dan keterlibatan dalam perayaan hari besar nasional. Masyarakat pun menjadi sangat bergantung pada kerdermawanan perusahaan.
Selanjutnya bentuk ketiga yakni community empowerment, perusahaan, selain memberikan modal kepada masyarakat juga melakukan pendampingan, melakukan pemberdayaan agar masyarakat memiliki kapasitas. Memang prosesnya akan berjalan lama, tetapi akhirnya masyarakat akan terbiasa. Ada upaya untuk meningkatkan produktivitas, memgembalikan pinjaman modal yang diberikan. Muaranya, masyarakat tidak lagi tergantung kepada perusahaan dan menjadi mandiri serta memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri.
Bentuk ketiga inilah yang mencirikan CSR sebagai bentuk penguatan masyarakat agar bisa mandiri dan mampu menyelesaikan persoalan mereka. Muara dari kegiatan CSR adalah community empowerment. Ini dilakukan diantaranya dengan peningkatan daya saing, program pemberdayaan petani, pemberdayaan pengrajin dan lainnya.“Ini (community empowerment) adalah bentuk yang paling ideal dalam melakukan program CSR,” ungkap Risna.
Jika pada bentuk pertama dan kedua, insisiatif lebih besar datang dari perusahaan (directif), maka pada bentuk yang ketiga, masyarakat menjadi perencana, terlibat secara aktif dalam penyusunan program dan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka (non directif).
“Untuk menuju tahapan kegiatan CSR yang berujung pada kemandirian, ada fasilitator yang menjadi penyambung lidah antara masarakat dan perusahaan (community worker). Peran dari fasilitator inilah yang membuat masyarakat bisa membedakan mana yang menjadi keinginan dan mana yang menjadi kebutuhan mereka,” terangnya lagi.
Harus diakui kegiatan CSR akan memiliki nilai empowerment, jika inisiatif masyarakat tinggi, masyarakat aktif berpartisipasi, sementara perusahaan hanya berfungsi sebagai pendukung program yang dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian masyarakat pun akan memiliki daya saing tinggi.
Dalam konteks keterlibatan dan dampaknya bagi masyarakat, Rina membaginya atas beberapa kelompok. Pertama Unpowerment dimana masyarakat tidak tersentuh oleh kegiatan CSR. Kemudian ada Failed Empowerment dimana program bantuan bersifat langsung seperti bagi-bagi sembako, hadiah ulang tahun perusahaan dan lainnya. Lalu Pseudo Empowerment ada program yang dilaksanakan di daerah tersebut sesuai hasil musyawarah masyarakat namun yang mengerjakan kontraktor. Masyarakat hanya dilibatkan sebagai pekerja.
Tipologi berikutnya Semi Empowerment dimana kegiatan sudah sesuai dengan permintaan masyarakat dan partisipasi masyarakat pun tinggi. Namun pengawasan perusahaan rendah. Dan yang berikutnya disebut Empowerment dimana inisiatif datang dari masyarakat, masyarakat terlibat aktif di dalamnya dan peran serta perusahaan sebagai pendukung.
“Unsur terpenting dalam peningkatan daya saing masyarakat adalah partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses program,”katanya.
Untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya saing tinggi ada beberapa tahapan yang harus dilewati Dimulai dari perencanaan yang disesuaikan dengan perencanaan internal dan rencana pembangunan daerah. Sejak di tahapan potensi keterlibatan masyarakat sudah harus dipetakan.
Kemudian tahap pelaksanaan dengan memperhatikan aspek peningkatan kapasitas masyarakat, pendampingan yang intens oleh perusahaan. Juga memasukan kearifan lokal, sumber daya lokal dan nilai-nilai lokal. Di tahap selanjutnya penting dilakukan montoring dan evaluasi dengan tujuan agar masyarakat belajar dari keberhasilan dan kegagalan. Semua itu akan sangat bergantung pada partisipasi dan peran serta masyarakat.
Operasi perusahaan migas dan tambang di suatu tempat memiliki masa. Ketika sumber dayanya habis perusahaan akan meninggalkan lokasi tersebut. Kegiatan CSR harusnya membantu mempersiapkan masyarakat untuk tidak bergantung pada operasi perusahaan. Dengan itu peerusahaah menghindarkan wilayah tersebut dari kutukan ghost town atau kota hantu seperti yang sering terjadi di daerah bekas tambang.
*****
Di tempat lain Dony Indrawan, Manajer Komunikasi PT Chevron Pacific Indonesia,Ltd sepakat bahwa muara dari kegiatan CSR adalah kemandirian masyarakat secara ekonomi. Namun untuk menuju ke sana, pemenuhan infrastruktur tidak bisa diabaikan.
“Di negara berkembang seperti Indonesia, keterbatasan infrastruktur juga menghambat gerak laju masyarakat. Karena itu, pemenuhan kebutuhan infrastruktur akan memberi ruang gerak yang besar bagi masyarakat, sehingga kegiatan perekonomian bisa mulai tumbuh dari adanya infrastruktur,” demikain jelas Dony.
Dengan ini mau dikatakan bahwa kegiatan yang menyasar pembangunan infrastruktur menjadi suatu hal yang tidak bisa diabaikan. Dan itu telah didilakukan perusahaan yang hadir di Indonesia sejak 1924 dengan membangun Jembatan Siak I yang menghubungkan Riau bagian utara dan selatan. Jembatan Siak I dibangun pada 1977.
Kehadiran jembatan ini pada akhirnya ikut mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, bukan hanya Riau tetapi juga perekonomian Sumatera secara umum. Demikian juga dengan pembangunan jalan yang awalnya hanya dipakai perusahaan, kini diserahkan ke pemerintah dan dijadikan sebagai jalan negara. Perusahaan juga berperan membangun SMA Negeri 1 Pekan Baru yang didirikan pada 1957. “Sekolah ini telah menjadi salah satu sekolah unggulan di Riau,”kata Dony.
Dony mengakui bahwa kegiatan CSR atau di kalangan PT Chevron Pacific Indonesia,Ltd lebih dikenal sebagai Social Investment salah satunya terinspirasi oleh pernyataan Julius Tahija. Julius tidak lain Presiden Direktur Caltex Pacific Indonesia. Julius pernah mengatakan bahwa Perusahaan hanya bisa bertahan kalau memenuhi kebutuhan sosial, dan sebaliknya perusahaan hanya dapat melayani kebutuhan sosial kalau Ia mantap secara ekonomi.
Ini sebenarnya menunjukkan bahwa untuk dapat bertahan lebih lama perusahaan harus memenuhi kebutuhan sosial. Di tempat lain untuk bisa memenuhi kewajiban itu, perusahaan harus mantap secara ekonomi. Hubungan timbal balik antara perusahaan yang memenuhi kebutuhan sosial dan masyarakat yang membantu perusahaan mencapai situasi mantap secara ekonomi.
Dony menjelaskan bahwa kegiatan Social Investment yang dilakukan Chevron lebih mengarah pada kegiatan penguatan masyarakat untuk perekonomian yang berkelanjutan. “Startegi social minvetment kami berubah mengikuti dinamisasi masyarakat. Kalau terus melakukan kegiatan yang sifatnya donasi, tidak akan ada perubahan perilaku masyarakat. Kita mengubah staregi ke arah yang membuat masyarakat lebih mandiri dan berdaya,” terangnya.
Namun Ia sadar bahwa itu tidak mudah karena ketika perusahaan mulai mengurangi kegiatan donasi yang hanya bersifat sesaat, perusahan akan dinilai negatif. “Jika ini dilakukan bisa saja perusahaan nilai pelit, tidak lagi memperhatikan mereka,”kata Dony.
Oleh karenanya untuk mengubah pola pikir dan kebiasan masyarakat ini Pemerintah harusnya juga hadir. Pemerintah perlu juga memberi penyadaran pada masyarakat bahwa hal yang penting adalah kegiatan pemberdayaan. Apalagi usaha di sektor migas ada masanya, ketika cadangan migas habis perusahaan akan menghentikan aktivitas produksi.
Menurutnya, kemitraan Chevron dengan masyarakat sudah lebih dari 90 tahun. Sampai saat ini, Cehvron masih tercatat sebagai kontributor terbesar produksi minyak dan gas nasional yakni sebesar 40%, melalui opreasinya di Riau dan Kalimantan.
Perusahaan asal Amerika ini juga ikut serta menyediakan kebutuhan listrik bagi jutaan masyarakat Indonesia melalui proyek panas bumi di Jawa Barat lewat Chevron Geothermal Indonesia,Ltd, dan Chevron Geothermal Salak Ltd.
Dari kehadirannya yang sudah lama bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, Chevron telah memberikan manfaat ekonomi dan sosial, tidak hanya bagi masyarakat di sekitar lokasi operasi, tetapi juga bagi Indonesia.
Ini dibuktikan dengan hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia bersama HIS. HIS yang berbasias di Colorado, Amerika Serikat tidak lain lembaga riset yang terkait dengan peran perusahaan dalam mempengaruhi perekonomian dan bisnis di suatu daerah.
Hasil dari analisa terkait dampak ekonomi terlihat bahwa Chevron tetap mempertahankan peran pentingnya bagi perekonomian Indonesia. Pada 2013, Chevron bersama mitranya menyumbang Rp.125 triliun, terhadap Produk Domestik Bruto (PDB atau Gross Domestic Product/GDP) Indonesia dan menyetor Rp101 triliun bagi pendapatan Negara melalui pendapatan pemerintah dari migas atau government lifting entitlements dan pajak.
Masih di tahun yang sama, Chevron secara langsung mempekerjakan 6.219 pekerja dan ikut membantu menciptakan 259.247 lapangan kerja lainnya dari kegiatan operasinya lewat mitranya, pemasok utama atau langsung dan rantai pemasok lanjutan dan imbasan di industri penunjang.
Operasi Chevron menghasilkan pendapatan bagi pemerintah Indonesia sekitar Rp455 triliun dalam 5 tahun untuk periode 2009-2013, termasuk dari mitranya. Jumlah ini lebih dari cukup untuk membangun jalan lintas Sumatra dari Aceh ke Lampung sepanjang 2.700 kilometer. Sementara pendapatan rerata per tahun yang dihasilkan dari operasi Chevron, sekitar Rp 91 triliun atau setara dengan 7,7% dana APBN. Jumlah ini cukup untuk membangun 41.000 klinik kesehatan.
Kontribusi operasi Chevron pada 2013, sebesar Rp 120 triliun atau 1,4% lebih besar dari PDB Indonesia. Jumlah ini setara dengan biaya untuk membangun 46.000 sekolah dasar. Dari kegiatan operasi Chevron pada 2013, pendapatan pribadi pekerja Indonesia dari karyawan Chevron dan mitranya menghasilkan Rp7,7 triliun. Jumlah ini cukup untuk menyekolahkan sebanyak 1,8 juta pelajar di sekolah menengah (tingkat SLTA).
Operasi Chevron juga mampu menghasilkan lebih dari 260.000 pekerjaan baik yang langsung, tidak langsung maupun imbasan di industri penunjang. Jumlah ini cukup untuk penyediaan lapangan kerja bagi populasi tenaga kerja usia produktif di Yogyakarta. Setiap satu pekerjaan di Chevron, mendukung rata-rata 36 lapangan kerja lain di Indonesia untuk periode tahun 2009 hingga 2013.
Dan setiap Rp10 triliun dari pengeluaran langsung Chevron pada 2013 mendorong pertambahan nilai sebesar Rp7,2 triliun dari kontraktor dan pemasoknya. Selain kontribusi dari kegiatan opersai, kontribusi Chevron terhadap masyarakat juga dapat dilihat dari dampak propgram investasi sosial.
Berangkat dari fakta tersebut Dony menilai kegiatan CSR atau investasi sosial adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan operasional perusahaan. Ini adalah nilai yang tertanam dan menjadi pegangan dimanapun Chevron beroperasi.
“Jadi kita tidak lagi bicara berapa danannya, apakah ini masuk cost recovery atau tidak. Karena bagi kita, kegiatan CSR atau Social Investment adalah bagian yang tidak terpisahkan dari setiap kegiatan operasional yang kita lakukan,”ungkap Dony.
Benar adanya bahwa CSR bukanlah sekedar biaya tetapi investasi yang menguntungkan pemangku kepentingan dan perusahaan. Ketika CSR hanya dilihat sebagai biaya semata maka dalam kondisi sulit seperti sekarang, dana CSR akan menjadi yang pertama dikorbankan. Jika itu yang dilakukan maka ini juga menjadi gambaran seolah-olah relasi baik dengan stakeholder tidak perlu dipertahankan. CSR jika diterapkan secara strategis dan holistik dapat mengubah perusahaan dari entitas laba menjadi agen perubahan untuk pembangunan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan.[]