Jakarta,TAMBANG, Dua hari menjelang HUT Kemederkaan Indonesia ke-75, Majalah TAMBANG berkesempatan mengunjungi dua lokasi kegiatan CSR PT Pertamina Gas di Kabupaten Karawang. Satu kelompok yang memproduksi kerupuk. Satu lagi Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang mengembangkan pertanian ramah lingkungan.
Di sela-sela kesibukan mengolah bahan kerupuk, Enjas, Wanita berusia 60-an tahun ini bercerita tentang kesibukan baru. Sebelumnya Ia hanya menghabiskan waktu di rumah. Kini setiap pagi jam 08.00 Wib sudah bergegas ke rumah produksi.
“Ya senang sekarang punya kesibukan, daripada di rumah lebih banyak tidur. Sekarang setiap hari setelah sholat subuh, masak nasi buat cucu. Lalu berangkat ke sini (rumah produksi,red). Kemudian Pkl. 12.00 Wib kembali ke rumah,”kisahnya.
Wanita yang telah ditinggal suami ini adalah satu dari empat ibu, anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Kenanga, Dusu Kedawung, Desa Tanjung, Kecamatan Banyusari, Kab. Karawang. Ia bergabung dengan kelompok ini kurang lebih setahun lau, diajak sang ketua Ibu Jubaeda.
Sempat berhenti produksi karena pandemi covid-19, sebulan terakhir kegiatan produksi kerupuk pelangi kembali berjalan. Dari waktu ke waktu kapasitasnya terus ditingkatkan seiring permintaan yang meningkat.
Meski Ia tidak menghitung berapa total pendapatannya dalam sebulan, tetapi Bu Enjas mengaku bersyukur karena ada tambahan pemasukan. “Senang juga karena dari kegiatan ini bisa mendapatkan uang sebagai tambahan untuk belanja rumah tangga,”kisahnya.
Kelompok Wanita Tani ini beranggotakan lima orang yang diketuai Ibu Jubaedah. Wanita paruh baya ini sebelumnya penjual jamu gendong. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan di desa. Ia bahkan sering diajak oleh dinas-dinas di Kabupaten Karawang untuk kegiatan pelatihan. “Saya sempat diajak jalan-jalan sampai ke Jawa untuk melihat kegiatan apa yang bisa dikembangkan di daerah ini,”kisahnya.
Keinginannya untuk membangun dusunya mendorongnya membentuk KWT. Sayangnya kelompok pertama yang dibentuk bubar. Padahal anggotanya ketika itu sudah mencapai 30 orang.
Tetapi Ibu Jubaedah tidak patah arang. Ia kemudian membentuk lagi KWT. “Kali ini saya mengajak ibu-ibu yang lanjut usia, yang sudah tidak bisa bekerja di sawah dan diutamakan yang sudah ditinggal suami. Tujuannya supaya mereka punya tambahan pendapatan,”ungkap Jubaedah.
Jadilah sekarang ini ada empat orang ibu-ibu yang tergabung di kelompok ini. Awalnya kelompok ini mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Karawang. Namun itu belum cukup. Apalagi ketika pandemi covid-19. Semua usaha lesu dan banyak toko yang tutup. Permintaan kerupuk di pasar pun turun. Kegiatan produksi pun sempat terhenti.
Tapi seiring situasi yang mulai pulih, permintaan kembali ada dan aktivitas produksi pun kembali berjalan. “Alhamdulilah ini sudah jalan hampir sebulan lebih, setelah pandemi. Ibu-ibu saya panggil lagi, mereka yang sudah tidak bisa kerja di sawah jadi bisa menghasilkan uang sendiri lagi,”ungkapnya sambil sekali mengangkat kerupuk dari tempat penganan.
Selain itu aktivitas produksi ini tidak lepas dari berbagai fasilitas baru yang bisa dimanfaatkan KWT Kenanga. Pertagas membantu merenovasi rumah produksi dan alat goreng pasir. Bantuan tersebut datang pada saat yang tepat karena pihak Dinas Pangan dan Dinas Kesehatan serta perangkat desa meminta kelompok tani ini punya tempat khusus.
Sebelumnya kegiatan produksi kerupuk dilakukan di rumah Ibu Jubaedah yang juga jadi tempat beternak. Ia mengaku dengan adanya rumah produksi para ibu bisa lebih fokus membuat kerupuk.
Bahan untuk pembuatan kerupuk olahan KWT Kenanga berasal dari bahan sederhana. Mulai dari tepung tapioka, kencur dan bumbu dapur lainnya. Kemudian dibuat inovasi dengan menambah varian rasa baru berbahan dasar daun kelor. Inovasi ini ternyata disambut baik. Sejak KWT Kenanga kembali aktif, inovasi kerupuk berbahan daun kelor diterima para pelanggannya.
“Daun kelor kan banyak di sekitar sini, kami manfaatkan. Awalnya kami coba-coba ternyata pada suka,” kisahnya.
Kelompok ini juga tidak hanya memproduksi kerupuk. Bahkan produk yang ini sudah dikenal sebelumnya yakni minuman herbal atau jamu berupa kunyit asam dan jahe sereh (jereh). Ketiga produk ini sudah jadi andalan pemasukan ibu-ibu di sekitar wilayah tempat tinggalnya.
Dalam sehari ibu-ibu anggota KWT Kenanga bisa membawa pulang Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu. Tergangung berapa banyak produksi. Dengan tambahan yang ada tentu sangat membantu karena rata-rata pemasukan buru tani sebesar Rp50 ribu-Rp65 ribu. “Lumayan mereka bisa buat tambah-tambah pemasukan untuk bantu keluarga,” kata Jubaedah.
Dalam perbincangan santai dengannya, Ia masih menyimpan harapan agar ibu-ibu di dusunya punya penghasilan sendiri. “Jangan hanya berharap dari rentenir, setiap Senin harus menyetor sementara mereka tidak punya penghasilan,”katanya.
Pertagas juga membantu dua mesin jahit dan modal beli kain untuk aktivitas menjahit. Selama masa pandemi sudah digunakan untuk menjahit tas besar dan kecil. Untuk tas ukuran kecil sebanyak 500 buah sementara yang ukuran besar sebanyak 285 buah. Kemudian juga menjahit masker dan menghasilkan 2000 masker.
Selain itu Ia juga sudah mulai melibatkan orang-orang muda di kelompoknya. Setidaknya peran kelompok muda ini diantaranya untuk membantu pemasaran lewat sosial media.
Pihak Pertagas merekomendasikan kegiatan menjahit karena melihat trend pemerintah yang mulai mengurangi penggunaan plastik. Bahkan di beberapa tempat seperti DKI sudah bebas plastik. Ini bisa menjadi peluang bagi kelompok ini untuk memproduksi tas. Tas tersebut pun bisa digunakan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosialnya.
Pertanian Ramah Lingkungan
Daerah Karawang dikenal sebagai salah satu lumbung padi nasional. Di daerah ini tidak sulit untuk menemukan hamparan sawah. Oleh karenanya tidak lengkap jika Pertagas tidak menyasar para petani sawah.
Pertagas telah membantu Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Saluyu di Desa Cilamaya, Kabupaten Karawang. Saat ini sudah ada 4 anggota kelompok Tani. Setiap kelompok beranggotakan 4 orang yang kesemuanya petani. Kegiatan utama Gapoktan ini adalah memproduksi pupuk organik baik kompos maupun pupuk cair. Pupuk organik ini dimanfaatkan anggota untuk sawah miliknya.
Program ini sudah berjalan selama setahun atau dua musim panen. Anggota kelompok secara gotong royong membuat pupuk organik. Untuk pupuk kompos diramu dari berbagai bahan yang ada disekitar. Tetapi kalau kotoran sapi karena jumlahnya terbatas maka dibeli dari daerah lain. Pupuk kompos ini biasanya ditabur sebelum dibajak.
“Tujuannya biar pupuk kompos ini kembali menyatu dengan tanah sawat. Sementara pupuk cair akan disemprot setelah tanam,”terang Karto, salah satu anggota Gapoktan.
Karto mengaku bahwa ada perubahan besar yang dialami petani setelah selama dua musim ini menggunakan pupuk organik. “Tanamannya tumbuh bagus dan hasil panennya pun lebih bagus. Sementara biaya produksi lebih murah,”terang Karto yang juga adalah Ketua RT 05/08, Kampung Sidomulya.
Jika sebelumnya ketika menggunakan pupuk kimia, satu hektar menghasilkan 4,5 ton. Tetapi ketika sudah menggunakan pupuk organik hasilnya bisa mencapai 5,5 ton per hektar.
Untuk pupuk cair biasanya menggunakan campuran air kelapa, beras dan gula merah. “Untuk gula merah dan air kelapa biasanya kami beli. Sementara untuk beras dibawa oleh masing-masing anggota,”lanjut Karto. Waktu fermentasi sekitar 15 hari.
Dengan peningkatan hasil yang diperoleh ini, Karto mengaku sudah ada banyak petani yang ingin bergabung. “Kami sangat terbuka jika ada petani yang ingin bergabung bersama supaya lebih banyak lagi yang menggunakan pupuk organik,”ujar Karto.
Sementara Ketua Gapoktan Saluyu, Endang Sudrajat, bercerita saat ini sedang dalam masa persiapan tidak bisa berhenti meskipun di tengah pandemi Covid-19. Ia mengaku petani mendapat manfaat yang cukup besar. Dengan penggunaan pupuk organik biaya produksi beras Gapoktan Saluyu bisa ditekan.
Efisiensi dari metode cocok tanam organik cukup besar karena memanfaatkan bahan-bahan alami sebagai pupuk. “Biaya bisa ditekan sekitar 30-40% lah, itu lumayan banget,” kata Endang yang ditemui di lokasi pembuatan pupuk.
Petani yang menjadi anggota Gapoktan menurutnya tidak perlu lagi membeli pupuk kimia seperti urea. Malah dengan penggunaan pupuk organik ini membuat tanaman padi tidak rentan diserang hama. “Hasil padinya bagus-bagus dan hama juga jadi jarang,” terang Endang
Zainal Abidin, Manager Communication, Relation, dan CSR PT Pertamina Gas, mengapresiasi kegigihan KWT Kenanga dan Gapoktan Saluyu yang tetap menjalankan roda ekonomi di tengah pandemi. Manajemen Pertagas di tengah kondisi seperti saat ini, masyarakat terkena imbasnya. Oleh kaenanya perusahaan aktif ikut mencari solusi bantuan apa yang bisa diberikan.
“Kami juga tidak terus berorientasi pada bantuan materi karena nantinya bisa membuat ketergantungan. Bersama dengan masyarakat, Pertagas aktif berdiskusi guna menemukan solusi yang bisa bermanfaat untuk jangka panjang,” lanjut Zainal.
Pertagas melihat potensi bagus dan tumbuh dalam KWT Kenanga karena itu bantuan rumah produksi jamu dan kerupuk diberikan. Hal itu terbukti dari peningkatan produksi. “Kami memang tidak memberi bantuan uang tapi berdasar apa yang dibutuhkan, rumah produksi ini jadi yang paling dibutuhkan karena syarat dari aparatur desa setempat, rumah produksi penting agar olahan makanan tetap higienis,” ungkap Zainal.
Ia juga berharap Gapoktan Saluyu bisa membantu petani untuk terus meningkatkan hasil padi yang ramah lingkungan. “Kami berharap para petani bisa semakin mandiri dengan tanam ramah lingkungan ini,” tutup Zainal.
Ini sumbangsih nyata perusahaan migas dalam membantu masyarakat dan UMKM di tengah pandemi.