Jakarta, TAMBANG – Mimpi Indonesia menjadi pemain utama di bisnis kendaraan listrik bukan isapan jempol belaka. Memiliki cadangan nikel sekitar 21 juta metrik ton, RI berpeluang besar menjadi kiblat industri armada berbasis baterai tersebut.
“Jika ada yang berkata sumber daya yang terbatas, cadangan dari Indonesia itu lebih banyak dari sumber daya,” ujar Associate Partner at McKinsey & Company Indonesia, Yanto Yanto dalam sebuah diskusi yang digelar oleh APNI di Jakarta, Rabu (31/5).
Meski demikian, sebagai bagian dari perusahaan yang bergerak di bidang konsultasi manajemen perusahaan, Yanto memprediksi jika kelak nikel RI menjadi tumpuan industri baterai kendaraan listrik, maka 10 tahun ke depan akan kekurangan sumber daya.
“Tapi dampak 10 tahun ke depan kita akan kekurangan sumber daya,” ujar dia.
Hal serupa disampaikan Senior Commodity Advisor Macquarie bank Ltd, Jim Lennon. Kata dia, cadangan nikel Indonesia sangat cukup meski dijadikan bahan baku baterai kendaraan listrik.
“Mengenai cadangan, akan cukup dengan yang ada. Kita sempat lihat dari pemerintah Indonesia mengenai hal tersebut. Apa yang sekarang kita lihat adalah munculnya sebuah potensi untuk mengubah beberapa produk tersebut,” ujar Jim.
Jim menuturkan bahwa persoalan pembuatan baterai kendaraan listrik sebagai armada masa depan tidak hanya berpaku pada nikel. Ada satu komoditas tambang yang perannya sangat dominan dan signifikan dari nikel, yakni lithium.
“Sedangkan lithium akan mengalami permintaan yang tinggi. Nikel lebih cepat dari kobalt permintaannya. Sumber daya lithium ini masalah waktu, bukan soal sumber daya” beber dia.
Berdasarkan laporan Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), cadangan nikel dunia mencapai 100 juta metrik ton pada tahun 2022. Indonesia sendiri menyumbang sekitar 21 persen atau 21 metrik ton, menyamai negeri tetangganya, Australia.
Selain nikel, bahan utama pembuat baterai kendaraan listrik adalah lithium, kobalt, mangan, dan besi baja. Dari komoditas tersebut, hanya litium yang belum dimiliki Indonesia.
Mengenai hal tersebut, Pemerintah berencana membangun pabrik lithium baterai dalam waktu dekat. Hal itu diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, Senin (20/3).
“Kita ini akan memproduksi lithium baterai. Tapi teknologi itu rupanya berkembang cepat. Sekarang sudah mulai masuk juga pasar lithium ferro phosphate atau LFP,” ujar Luhut.
Meski begitu, dia masih optimis lantaran Indonesia juga memiliki cadangan besi yang cukup melimpah. Diketahui, lithium jenis LFP atau lithium iron phosphate battery ((LiFePO4) adalah jenis baterai yang bebas perawatan yang dapat diisi ulang.
“Yang kebetulan juga kita memiliki besi yang cukup banyak. Jadi lithium ferro phosphat ini akan produksi di Indonesia. Kebetulan lagi, kita sudah memproduksi lithium processing plant di Morowali yang berkapasitas 60 ribu ton per tahun, salah satu terbesar di dunia,” imbuh dia.