Jakarta-TAMBANG. Black & Veatch ditunjuk untuk mengawasi penjadwalan, desain, kontrol terhadap kualitas peralatan yang dipasok, dan kegiatan konstruksi untuk proyek PLTU Cirebon 2 dengan kapasitas 1000 MW.
“Kami memiliki peran penting dalam membantu pemilik menyiapkan konstruksi proyek dan memfokuskan pada kinerja kontraktor serta memastikan kualitas pasokan peralatan yang digunakan. Peran kami termasuk memeriksa dokumen desain teknis, melakukan inspeksi lapangan secara langsung, dan memonitor penyelesaian komponen-komponen utama dalam rantai logistik,” papar Tariq Aziz, Director, South Asia, Power Generation Services, Black & Veatch.
Black & Veatch telah ditunjuk sebagai Owner’s Engineer oleh PT. Cirebon Energi Prasarana untuk menyelesaikan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Hal ini penting agar PLTU ini nantinya dapat beroperasi dengan efisien tepat pada waktunya.
Perluasan fasilitas pembangkit terpasang, dengan unit sebesar 1.000 MW dengan teknologi coal-fired ultra-supercritical (USC) akan menjadi aset utama dalam memasok jaringan listrik di Indonesia. Ini juga menjadi bagian dari rencana pemerintah dalam perluasan pembangunan proyek listrik 35.000MW.
Untuk diketahui Konsorsium pemilik proyek ini terdiri dari Marubeni Corporation (Marubeni), PT. Indika Energy Tbk (Indika), Samtan Co., Ltd. (Samtan), Korea Midland Power Co., Ltd (KOMIPO), dan JERA Co., Inc.
Sementara Black & Veatch dikenal sebagai perusahaan dengan pengalaman yang luas dan mendalam sebagai Owner’s Engineer untuk pembangunan pembangkit listrik di seluruh dunia. Perusahaan yang sahamnya ini dimiliki karaywan ini juga dikenal sebagai kontraktor dibidang Engineering, Procurement and Construction (EPC) di Indonesia dan global.
Perusahaan ini mengerjakan lebih dari 100 proyek energi dan air di 24 propinsi dengan kurang leig 100 tenaga professional Indoensia. Khusus di pembangkit listrik perusahaan ini telah berkontribusi pada hampir 15.000 megawatt (MW) dari kapasitas listrik terpasang di seluruh negeri. Salah satunya Banten Independent Power Producer (IPP).
Sementara teknologi coal-fired Ultra-supercritical (USC) membutuhkan lebih sedikit batu bara per megawatt-hour bila dibandingkan dengan pembakaran batubara konvensional. Dengan demikian dapat menurunkan emisi temasuk karbondioksida dan merkuri. Di tempat lain meningkatkan efisiensi operasional dan menurunkan biaya bahan bakar untuk setiap megawatt yang dihasilkan.