Jakarta, TAMBANG. INDONESIA merupakan produsen bijih nikel terbesar pada 2013, sekitar 440.000 ton, atau hampir seperenam produksi bijih nikel dunia. Pelarangan ekspor mineral mentah yang diterapkan pemerintah membuat pada 2014 ekspor Indonesia tinggal 10% dari ekspornya pada 2013.
Treffis, sebuah lembaga riset pasar modal dari Boston, Amerika Serikat, menulis dalam laporannya kemarin, bila Indonesia tetap menerapkan kebijakan pelarangan ekspor, bisa dipastikan peran nikel Indonesia di pasar global akan turun menjadi nol. Tetapi bila pemerintah Indonesia mengubah kebijakan ekspor nikel dengan melonggarkan larangan, kebijakan ini akan mengubah situasi pasar. Melihat lemahnya permintaan pasar nikel dunia, tambahan pasokan dari Indonesia akan membuat harga semakin hancur.
Untuk meramal dampak perubahan harga yang terjadi bila Indonesia melonggarkan larangan ekspor nikel, dibuatlah model matematika, dengan patokan harga nikel dari Vale. Treffis memasukkan variabel harga nikel Vale berkurang 15% pada 2021, dan bertambahnya marjin laba pada divisi logam dasar. Produksi Vale dan belanja modal diasumsikan tidak berubah. Dengan asumsi seperti itu, harga nikel diperkirakan turun 15%, antara $6,44-$5,44.
Bila Indonesia melonggarkan larangan ekspor nikel, diperkirakan harga akan berkurang lagi.
Sementara itu di Bursa Logam London. Harga nikel untuk perdagangan berjangka naik 0,17% , kemarin, didorong oleh kenaikan di pasar tunai. Sayangnya kenaikan itu dihambat oleh lemahnya permintaan terhadap tembaga dan logam dasar lain.
Sumber foto: www.jamesduva.com