Jakarta, TAMBANG. PERUSAHAAN raksasa bidang pertambangan, BHP Billiton, merugi US$ 5,67 miliar –Rp 76,545 triliun untuk kurs sekarang, selama Juni-Desember 2015. Padahal, pada periode yang sama tahun 2014, BHP Billiton meraup untung hingga US$ 5,35 miliar (sekitar Rp 72,225 triliun).
Kerugian itu dipicu oleh harga komoditi yang rendah, membuat penerimaan BHP Billiton berkurang 37% menjadi $15,7 miliar. Laba kotornya turun 92% menjadi $412 juta. Akibatnya BHP, salah satu perusahaan tambang paling besar di dunia, harus memangkas devidennya.
Tidak biasanya BHP Billiton mengurangi devidennya. Selama bertahun-tahun, BHP Billiton selalu berupaya menjaga agar deviden untuk para pemegang saham tidak berkurang. Kali ini, deviden mengecil, dari $62 sen menjadi $16 sen.
Sebagaimana disiarkan kantor berita dari London, BBC, situasi sulit ini membuat chairman BHP, Jac Nasser harus meyakini bahwa periode harga komoditi yang tak menentu, serta ketidakpastian, akan berpanjang-panjang. ‘’Keputusan untuk mengurangi deviden dibuat dengan hati-hati, untuk merespon situasi pasar yang berubah,’’ kata Nasser.
Pengurangan deviden jauh lebih berat ketimbang yang diperkirakan analis.
Pemangkasan deviden itu direspon pasar dengan bagus. Harga saham BHP Billiton naik 2,7% menjadi $17,64 per lembar pada akhir sesi pagi kemarin di Bursa Sydney. Tetapi secara umum, harga saham BHP Billiton terpuruk 47% dalam 12 bulan terakhir.
BHP menjanjikan membayar devden 50% dari laba, di masa depan.
Analis dari lembaga sekuritas Shaw and Partners, Peter O’Connor mengatakan, ‘’Dari sisi persentase, deviden yang dibagikan kali ini besar. Tetapi dari sisi nilai, angkanya sungguh mengecewakan.’’
Perusahaan pertambangan, termasuk BHP, dalam tekanan berat akibat penurunan ekonomi Cina. Anjloknya perekonomian Cina membuat permintaan terhadap komoditi, seperti bijih besi dan batu bara, menurun drastis.
Sumber foto: smh.com.au