Beranda ENERGI Migas BBM Satu Harga: Demi Rasa Adil Seluruh Negeri

BBM Satu Harga: Demi Rasa Adil Seluruh Negeri

Indonesia baru saja merayakan HUT Kemerdekaan yang ke-73. Meski demikian masih ada daerah yang belum menikmati penerangan listrik. Juga masih ada warga yang harus beli BBM dengan harga yang sangat mahal. Terbitlah kebijakan BBM Satu Harga dengan menyasar daerah 3T.

Jakarta,TAMBANG, Indonesia baru saja merayakan HUT Kemerdekaan yang ke-73. Rentang masa yang tidak bisa dikatakan singkat. Tetapi juga belum tepat untuk disebut usia yang panjang. Namun satu hal yang pasti negara ini masih harus terus membangun.

Diantara beragam kemajuan yang telah dicapai, masih ada sederet masalah yang harus diselesaikan. Salah satunya terkait pemerataan pembangunan demi tercapainya keadilan. Termasuk keadilan di bidang energi khusus listrik dan BBM.

Fakta menjelaskan bahwa masih ada daerah yang masyarakatnya belum merdeka dalam hal energi. Ada sebagian wilayah yang belum menikmati penerangan listrik. Ketika malam tiba, rumah penduduk hanya diterangi lampu teplok. Anak-anak belajar atau pun mengaji hanya dengan penerangan lampu yang cahayanya redup.

Juga ada daerah meski sudah ada listrik tetapi dengan kapasitas yang sangat terbatas. Sehingga listrik hanya ada di malam hari bahkan kadang harus bergilir antar satu wilayah dengan wilayah lain. Jadilah seminggu bisa dua atau tiga malam yang hidup dalam kegelapan.

Tahun ini PT PLN (Persero) menargetkan mengaliri listrik ke 1.200 desa di seluruh Provinsi Papua dan Papua Barat. Hingga saat ini, perusahaan setrom plat merah ini telah melakukan penambahan listrik ke 435 desa.

Belum lagi cerita terkait Bahan Bakar Minyak (BBM). Masih ada warga yang untuk mendapatkan BBM harus berjalan puluhan kilometer. Itupun mereka harus merogoh kocek lebih dalam. Harga BBM bisa mencapai Rp.50.000 bahkan sampai Rp.100.000 per liter.

Pemerintah kemudian mencanangkan program BBM Satu Harga. Program ini digulirkan pada 1 Januari 2017. Daerah yang mendapat prioritas pelaksanaan adalah daerah yang masuk kategori 3T yakni Tertinggal, Terluar dan Terdepan.

Sebagai pelaksana Pemerintah menunjuk PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo. Kedua perusahan ini kemudian menunjuk para penyalur yang diikat dengan kontrak. Para penyalur tersebut akan bertanggungjawab langsung pada kedua perusahaan ini.

Presiden Joko Widodo dalam sambutan ketika meluncurkan program ini dengan tegas mengatakan bahwa telah ada ketidakadilan bagi masyarakat Papua yang selama ini terus dibiarkan. Menurutnya masyarakat di Indonesia belahan barat dan tengah telah menikmati harga BBM yang sama. Sementara masyarakat Papua harus membeli BBM, ada yang Rp 60.000 per liter bahkan sampai Rp100.000 per liter.

Oleh karenanya Ia mendorong adanya BBM Satu Harga di daerah daerah 3T termasuk di Papua. Ia berkeyakinan bahwa BBM Satu Harga ini akan membantu menumbuhkan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat.

Karena jelas biaya transportasi akan lebih murah, biaya logistik akan lebih murah, sehingga harga juga akan bisa diturunkan. Ini memang ‘step by step’, setahap demi setahap,”ujarnya kala itu.

Kementrian ESDM kemudian menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 36 tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan Secara Nasional. Beleid ini memerintahkan percepatan pemberlakuan harga jual eceran BBM yang sama untuk seluruh wilayah Indonesia.

Jenis BBM yang diatur adalah jenis BBM tertentu (JBT) yaitu minyak solar 48 (gas oil) dan minyak tanah serta jenis BBM khusus penugasan (JBKP) yaitu bensin RON 88 yang harga dasar dan harga jual ecerannya ditetapkan Menteri ESDM.

Di 2018 sudah ada beberapa lokasi yang diresmikan. Menurut Komite BPH Migas, Muhammad Ibnu Fajar tahun ini yang disasar adalah daerah terluar. “Jika diawal pelaksanaanya lebih fokus ke daerah tertinggal maka tahun ini mulai menyasar daerah terluar. Sehingga tantangan dari sisi geografis menjadi semakin berat,”terang Ibnu.

Medan berat menjadi tantangan tersendiri. Ini bisa  dilihat dari kisah-kisah distribusi BBM Satu Harga yang dipublikasi PT Pertamina. Misalkan untuk menghantar BBM ke Hulu Mahakam dari Samarinda butuh waktu sampai 5 hari. Kapal pengangkut menyusuri sungai Mahakan dengan ancaman sungai dangkal dan cuaca.

Atau di Papua, BBM diangkut menggunakan pesawat Air Tractor AT 802 Pelita Air. Pesawat ini mengangkut BBM dengan kapasitas 4000 liter BBM. Pesawat tersebut ada di Bandar Udara Nop Goliat Dekai, Yahukimo. Dari tempat ini, BBM diangkut ke beberapa daerah seperti Illaga.

Program ini setidaknya mendekatkan penyalur BBM ke masyarakat di pedalaman dan pulau terluar. Sehingga masyarakat bisa membeli harga yang lebih murah dan jaraknya pun mudah terjangkau.

Ibnu sendiri punya pengalaman ketika meresmikan SPBU BBM Satu Harga di Konawe Kepulauan.  Untuk sampai ke lokasi harus menempu perjalanan kurang lebih 4 dari Kendari menggunakan moda transportasi laut.

“Butuh waktu kurang lebih 4 jam perjalanan dari Kendari. Selama ini masyarakat harus menempu perjalanan cukup jauh untuk mendapatkan BBM. Kehadiran lembaga penyalur di lokasi mereka tentu memudahkan warga mendapatkan BBM dengan harga yang sama dengan di tempat lain,”tandas Ibnu.

*****

DIAWAL Agustus silam bertempat di Desa Waiboga, Kecamatan Sulabesi Tengah, Maluku Utara, PT Pertamina (Persero) meresmikan tiga lembaga penyalur BBM Satu Harga di tiga lokasi berbeda.

Ketiga lokasi tersebut adalah Kabupaten Kepulauan Sula di Maluku Utara, Kabupaten Asmat, Papua dan Kabupaten Nias, Sumatera Utara. Ini juga menambah jumlah lembaga penyalur yang diresmikan. Sejak awal tahun sudah ada 9 titik yang diresmikan dan ditargetkan sepanjang 2018 ada 67 titik yang diresmikan.

Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito menegaskan komitmen dan dukungan Pertamina dalam mewujudkan keadilan energi bagi masyarakat sekaligus menjaga kedaulatan energi di seluruh pelosok negeri.

Untuk itu lanjut Adiatma Pertamina di bulan Agustus ini akan meresmikan 18 Lembaga Penyalur BBM Satu Harga. Selanjutnya di bulan September akan meresmikan 40 Lembaga Penyalur. Jika semua rencana tersebut terealisasi maka diakhir tahun 2018 akan ada 67 Lembaga Penyalur yang beroperasi.

Sementara External Communication Manager PT Pertamina (Persero) Arya Dwi Paramita kepada Majalah TAMBANG menjelaskan Pemerintah menargetkan 160 lembaga penyalur BBM Satu Harga selama 3 tahun dalam periode 2017 sampai 2019.  

“Khusus tahun 2018 ditargetkan 67 titik dan sudah direalisasikan sebanyak 12 titik lembaga penyalur. Sehingga sejak 2017 sampai Agustus 2018 sudah dioperasikan 66 lembaga penyalur dengan perincian 54 lembaga penyalur di 2017 dan 12 lembaga penyalur pada 2018,”terang Arya.

Ia menegaskan lembaga penyalur menjual BBM sesuai harga Perpres yakni Premiun Rp. 6.150 per liter dan Solar diharga Rp.5.450 per liter. “Untuk penyaluran BBM sama halnya penyaluran ke SPBU lain. Sejauh ini tidak mengalami kendala yang berarti meski tidak dipungkiri kondisi alam dan akses infrastruktur ke lokasi masih menjadi tantangan utama mengingat lokasi SPBU ini berada di daerah 3 T,”lanjut Arya.

Khusus di Papua, Arya mengakui sampai sekarang seluruh Kabupaten/Kota di Papua sudah memiliki SPBU.  “Khusus untuk BBM 1 Harga targetnya 27 lembaga penyalur dan yang sudah terealisasi 19 lembaga penyalur,”terang Arya.

Sementara terkait kuota BBM satu harga, Arya menegaskan bahwa konsumsi BBM untuk program ini hanya sekitar 0,3% dari total penyaluran Nasional. “Khusus titik lokasi 3T SPBU 1 Harga, dibandingkan per Januari 2017, petumbuhannya cukup signifikan,”lanjutnya.

Lebih lanjut Arya menjelaskan biaya terbesar dari program ini adalah biaya distribusi. Pertamina menurutnya sudah menghitung tambahan biaya untuk distribusi dan operasional BBM 1 harga sekitar Rp 2 sampai 2.5 triliun untuk 3 tahun (2017-2019). 

“Untuk tiga tahun dari 2017-2019 biaya yang dibutuhkan kurang lebih Rp.2 triliun sampai Rp.2,5 triliun,”ungkap Arya.

Tidak lupa Arya menyebut beberapa kendala diantaranya kondisi alam geografis yang aksesnya sulit ditembus. Kemudian soal keamanan, masalah perizinan yang masih perlu bantuan dan dukungan dari stakeholder sehingga percepatan pengoperasian terlaksana sesuai target.

“Ombak tinggi untuk moda transportasi laut dan cuaca buruk untuk transportasi udara. Tidak mudah untuk merealisasikan program ini,”tandasnya.

Terkait dengan itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam suatu kesempatan mengatakan program BBM Satu Harga ini harus dipadukan dengan pembukaan jalur transportasi.

“Harus terintegrasi dengan pembangunan infrastruktur yang bisa membantu menekan biaya transportasi. Seperti di Papua yang mengangkut BBM menggunakan pesawat. Bisa dibayangkan biayanya pasti besar sekali,”terangnya.

Jika daerah-daerah ini sudah dibuka akses, tentu biaya transportasi akan akan turun.

Hal lain lagi adalah pengawasan dan pengaturan distribusi termasuk sub penyalur. Pemerintah sebaiknya tidak hanya mengatur sampai di SPBU tetapi sampai ke sub penyalur. Agar disparitas harga antara SPBU dengan penyalur atau sub penyalur di daerah tidak terlalu besar.

Selain itu pengawasan dan penegakan hukum pun perlu dilakukan. Komite BPH Migas Muhammad Ibnu Fajar menegaskan hal ini. Pemerintah daerah diharapkan berperan dalam melakukan pengawasan. Apalagi jumlah SDM di BPH sangat terbatas. “Juga pengawasan dari aparat penegak hukum agar program ini berjalan sukes,”tandasnya.

*****

SALAH satu yang disorot beberapa pihak adalah soal harga. Disebutkan bahwa masih ada di sebagian wilayah yang masyarakatnya masih membeli BBM dengan harga lebih tinggi dari harga BBM di SPBU. Ini terkait erat dengan kehadiran sub penyalur.

Wilayah Indonesia sangat luas sementara jumlah SPBU terbatas. Jika dihitung antara jumlah SPBU dengan luas wilayah setidaknya satu SPBU mengcover kurang lebih 250 km persegi. Oleh karenanya banyak sub penyalur yang membeli BBM di SPBU dan menjual kembali. Oleh karenanya perlu diatur keberadaan sub penyalur termasuk di dalamnya biaya angkut.

Pemerintah sendiri telah menerbitkan Permen ESDM No.13 tahun 2018 mengenai sub penyalur. Sebagai contoh, sekelompok konsumen seperti nelayan dapat menentukan satu orang sebagai koordinator untuk membeli BBM di SPBU. Pemda akan mengeluarkan izin membeli BBM. Dalam surat tersebut sudah disebutkan ongkos angkut sehingga harga di titik akhir diketahui.

Pengamat Energi Komaidi Notonegoro menjelaskan bahwa program BBM Satu Harga sejauh ini berjalan baik. “Dalam aspek pelaksanaan, baik pemerintah maupun Pertamina sebagai pelaksana saya kira perlu kita berikan apresiasi,”kata Komaidi yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute.

Ia juga sepakat bahwa program ini mulia yang bertujuan menghadirkan pemerataan akses energi (BBM) kepada seluruh lapisan masyarakat. Hanya saja ada yang tidak proporsional. Kebijakan intervensi harga (subidi dan/atau BBM satu harga) umumnya melekat atau menjadi domain pemerintah bukan badan usaha (BUMN). Sehingga perlu penataan lebih baik dalam aspek penganggarannya. Program ini harus dilakukan dengan mekanisme APBN,”tandas Komaidi.

Hal lain menurut Komaidi,  sepanjang bisnis niaga BBM di daerah yang bersangkutan belum cukup ekonomis, program ini masih diperlukan. “Dalam hal ini pemerintah harus melakukan secara paralel menjalankan program sambil berupaya agar niaga BBM di wilayah yang menjadi sasaran program juga dapat ekonomis tanpa adanya program ini,”katanya.

Komaidi memaklumi jika harga BBM  diluar SPBU resmi termasuk SPBU Satu Harga yang lebih mahal. “Sampai sejauh ini yang bisa dikontrol oleh pelaksana (Pertamina) dan relatif terdapat instrumennya adalah harga sampai di level SPBU. Jika sudah di luar SPBU tentu pelaksana tidak memiliki instrumen untuk melakukan kontrol,”terangnya.

Oleh karenanya jika pemerintah menghendaki bahwa harus sama sampai ke konsumen akhir, pengaturan sampai ke level penyalur diperlukan. Akan tetapi tentu biaya yang diperlukan untuk hal tersebut juga tidak sedikit.

 Kebijakan ini juga merupakan representasi dari pelaksanaan Pancasila, Sila ke-5 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,”tandas Komaidi.

Ia juga menilai kebijakan ini membawa dampak terhadap aspek ekonomi perlu dilihat lebih lanjut. Sejauh ini ekonomi atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari daerah yang menjadi sasaran program terpantau mengalami peningkatan. Akan tetapi apakah peningkatan tersebut akibat kebijakan BBM satu harga atau karena hal lain, itu yang perlu dilihat lebih lanjut,”tandasnya.

BBM Satu Harga tidak sekedar memenuhi keinginan agar seluruh rakyat dapat menikmati BBM sama seperti daerah lain. Ini program untuk mewujudkan keadilan di sektor energi. Untuk menjadikan masyarakat seluruh Indonesia bisa menikmati kemersdekaan sesungguhnya.