Jakarta – TAMBANG. Pemerintah diharapkan fokus pada program utamanya di bidang energi yakni mempercepat pembangunan infrastruktur gas dan tidak terkecoh dengan upaya pembentukan opini yang masih mempersoalkan kepemilikan saham oleh investor publik di PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).
Fahmi Radhi, Anggota Tim Reformasi Migas mengatakan, pembangunan infrastruktur gas dinilai menjadi prasyarat utama kesuksesan program percepatan konversi energi dari BBM ke gas bumi. Langkah PGN dikatakan Fahmi jangan dihalangi karena perusahaan tersebut tidak tergantung pada APBN dan terus berkontribusi besar bagi ekonomi nasional.
Menurutnya, hal yang jauh lebih penting, dan yang patut dibahas dan dipikirkan bersama saat ini adalah percepatan infrastruktur gas sehingga manfaat gas bumi dapat segera dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. “Pembangunan infrastruktur gas bumi jauh lebih penting daripada sekadar mempermasalahkan kepemilikan saham publik di BUMN. Saat ini kita sudah masuk ke situasi darurat infrastruktur, jangan membangun opini untuk kepentingan sendiri. Seperti PGN, dengan kemandiriannya kini bisa membangun pipa gas hingga lebih dari 6000 km,” tegas Fahmi, Selasa (10/3).
Persoalan infrastruktur menjadi alasan utama pasokan gas ke domestik menjadi kurang maksimal, padahal gas bumi memiliki peran penting dalam kebijakan energi di masa depan. Apalagi pemerintah telah menargetkan pembangunan infrastruktur gas bumi sampai tahun 2019 nanti mencapai 18.000 km.
“Yang paling penting saat ini adalah pemanfaatan energi alternatif seperti gas bumi. Manfaat gas bumi sudah dapat dilihat di sektor industri, pembangkit listrik, komersil, transportasi dan rumah tangga. Indonesia membutuhkan percepatan infrastruktur gas sehingga kemandirian energi dapat tercapai”, jelas Fahmi.
Sebelumnya Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika juga mempersoalkan kepemilikan saham publik PGN yang sebagian dimiliki oleh investor asing. Mantan Pjs Dirjen Migas itu menilai bahwa PGN bukan lagi BUMN, karena adanya kepemilikan saham publik.
Padahal, langkah PGN untuk go public di tahun 2003 merupakan keputusan pemerintah, dimana saat itu Kardaya adalah bagian dari pemerintah.
Data Mckinsey 2014 mengenai sektor energi di Indonesia mencatat, selama dua dekade terakhir tidak ada ladang gas darat (onshore) baru yang secara signifikan telah dikembangkan untuk menggantikan ladang gas yang menurun produksinya di Jawa Barat, Sumatera Tengah dan Selatan.
Sementara itu gas bumi lebih banyak diproduksi di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Namun, pengembangan ladang baru tersebut tidak di dukung dengan pembangunan infrastruktur gas bumi. Sehingga, produksi gas nasional lebih banyak diekspor ketimbang dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Fahmi yang juga Dosen di Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gajah Mada ini mengatakan, kemampuan dan kontribusi PGN dalam membangun dan mengembangkan pemanfaatan gas bumi mestinya didukung. Apalagi, sebagai BUMN, PGN terbukti mampu membangun ribuan kilometer infrastruktur gas di berbagai wilayah Indonesia.
Selama tahun 2014, PGN terus mengembangkan infrastruktur jaringan gas bumi untuk mengalirkan gas bumi ke berbagai segmen pelanggan, mulai dari rumah tangga, UKM, komersial, industri, pembangkit listrik dan transportasi.
“Kontribusi PGN terbukti memberikan banyak manfaat bagi perekonomian. Hal ini yang perlu terus diperkuat. Jangan sampai sumber energi gas bumi yang melimpah ini hanya menjadi komoditas ekspor, sementara di dalam negeri kita krisis energi,” jelas Fahmi.
Sebelumnya, Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu menilai, kepemilikan saham asing di BUMN tak perlu dipermasalahkan. Menurut Said, kepemilikan investor asing terhadap saham BUMN tidak layak untuk dipermasalahkan karena merupakan konsekuensi logis dari keputusan pemerintah yang melakukan Penawaran Umum Perdana Saham terhadap saham BUMN-BUMN tersebut.
“Kita lihat bagaimana kontribusi BUMN itu ke perekonomian, jangan hanya selalu mencari-cari yang tidak perlu saja,” tegasnya.