Egenius Soda
[email protected]
Jakarta-TAMBANG.Menteri ESDM Sudirman Said sejak awal kepemimpinannya berulang kali menegaskan tekad untuk mengurai sumbatan-sumbatan yang ada di lingkup Kementrian ESDM termasuk sektor migas. SKK Migas mencatat beberapa kendala operasional yang mengganggu kinerja di sektor minyak dan gas. Salah satunya implementasi aturan tata ruang.
Menurut catatan SKK Migas di luar kendala operasional yang ada, terdapat beberapa isu lain yang berpotensi menghambat kegiatan hulu migas untuk jangka panjang. Salah satunya terkait implementasi aturan mengenai tata ruang. Regulasi yang ada menyatakan semua kegiatan harus mengacu pada rencana tata ruang dan tata wilayah.
Saat ini tidak semua daerah sudah memiliki rencana tata ruang dan tata wilayah. Sementara beberapa daerah yang menyusun rencana tata ruang dan tata wilayah belakangan tidak mengakomodasi kegiatan usaha hulu migas yang sebenarnya sudah beraktivitas di wilayah tersebut untuk waktu yang cukup lama. Dalam beberapa kasus ditemukan tapak sumur atau pipa penyalur yang berada di kawasan budidaya pemukiman, komersial, dan pertanian.
Selain masalah tata ruang, industri hulu migas juga menghadapi kendala dari aturan perpajakan. Beberapa regulasi perpajakan yang sampai saat ini belum terselesaikan antara lain terkait pajak pertambahan nilai (PPN) impor, pajak bumi dan bangunan (PBB) offshore, dan pajak untuk penggunaan fasilitas bersama antar KKKS.
Terkait dengan PPN impor, masalahnya adalah Kontraktor KKS eksploitasi tidak dapat menerima pembebasan PPN impor karena tata caranya belum diamanatkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70/2013. Saat ini terdapat PPN impor sebesar Rp 1 triliun yang sudah dibayarkan oleh Kontraktor KKS yang belum mendapatkan pengembalian.
Permasalahan PPN impor ini nantinya akan berdampak langsung terhadap pengadaan barang yang dibutuhkan dalam operasi hulu migas, sehingga berpotensi menurunkan tingkat produksi migas.
Hal lain yang juga menjadi perhatian terkait pembebanan PBB Offshore. Kontraktor KKS wilayah offshore yang menandatangani kontrak setelah PP 79 tahun 2010 mengajukan keberatan terhadap SPPT PBB Permukaan Offshore dan SPPT PBB Tubuh Bumi periode tahun 2012 dan 2013 dengan nilai Rp 3,1 triliun.
Dirjen Pajak sudah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor Per-45/PJ/2013 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi untuk menggantikan Per-11/PJ/2012. Peraturan tersebut tidak berlaku retroaktif, sehingga permasalahan PBB Migas sebesar Rp 3,1 trilyun masih belum selesai.
Kepastian hukum atas semua persoalan di atas berdampak terhadap keputusan investasi dari para Kontraktor KKS. Sementara menunggu, Kontraktor KKS yang masih dalam tahap Eksplorasi, memilih untuk tidak melakukan kegiatan eksplorasi sampai dengan proses tersebut selesai.
Masalah lain perpajakan juga terjadi pada penggunaan fasilitas bersama antar Kontraktor KKS. Mekanisme pengggunaan fasilitas bersama lebih efisien karena biaya operasi ditanggung bersama dibandingkan jika masing-masing Kontraktor KKS membangun fasilitasnya masing-masing. Namun, penggunaan fasilitas bersama ini ternyata kemudian dianggap sebagai objek pajak sehingga dikenakan PPN yang menimbulkan beban tambahan bagi kegiatan hulu migas.