Jakarta – TAMBANG. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, mengaku belum pernah mendapatkan informasi terkait sengketa kepemilikan tambang emas Cianjur yang dibawa ke arbitrase internasional. Padahal, kasus yang mulai mencuat sejak bulan Oktober 2016 silam juga menyeret nama seorang mantan Dirjen Minerba, Rozik B. Soetjipto.
Silang sengketa terkait kepemilikan IUP tambang emas Gunung Rosa di Cianjur, Jawa Barat saat ini bergulir di Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Koswara Sasmitapura, Rozik B. Soetjipto, dan Prianda Raspati, yang telah mengalihkan saham PT Cikondang Kancana Prima (CKP), memilih untuk menempuh jalur hukum lewat arbitrase internasional. Namun demikian, langkah tersebut ternyata ditempuh tanpa berkoordinasi dengan pihak Direktorat Jenderal Minerba.
“Kami belum pernah mendengar soal arbitrase itu,” ujar Bambang Gatot Ariyono, Selasa (20/02).
Pihaknya pun mengaku belum dapat menyampaikan tanggapan pemerintah, terkait perebutan hak atas tambang emas yang menurut survei JORC memiliki potensi kandungan 600 ribu ounce emas tersebut.
“Kami tidak bisa berkomentar karena belum pernah mendengar kasus ini. Tentu kami harus mempelajarinya dahulu,” jelasnya lagi.
Sengketa ini berpangkal pada Perjanjian Jual Beli Saham PT CKP yang dibuat tanggal 1 Februari 2012. Awalnya, PT Paramindo sudah memiliki mayoritas saham sebesar 51% atas PT CKP. Setelah adanya penerbitan saham baru dan kesepakatan penertiban sertifikat saham baru kepada masing-masing pemegang saham dengan adanya kenaikan modal dasar, maka per 3 Agustus 2012, komposisi kepemilikan saham PT Paramindo menjadi 85%. Sementara sisa 15%-nya masing-masing dipegang oleh Koswara Samitapura (11,2%), Rozik B. Soetjipto (2,2%), dan Prianda Raspati (1,6%). Transaksi peralihan kepemilikan saham tersebut bernilai total US$ 5 juta.
PT Paramindo bahkan sudah membayar pembelian sebesar US$ 4,750 juta, sementara sisinya US$ 250 ribu akan dibayarkan setelah pengesahan badan hukum PT CKP diselesaikan di Kementrian Hukum dan Ham. Sebagaimana tertuang dalam perjanjian jual beli, pelunasan memang dilakukan setelah pengesahan tersebut serta penyelesaian urusan AMDAL pertambangan. Tapi belakangan, PT Paramindo mendapati bahwa yang tercatat sebagai pemilik 85% daham PT CKP adalah PT Makuta Rajni Pradipa dan PT Sinergi Pratama Mulia. Ternyata, selama periode Maret hingga Juni 2012, saham yang sama telah diperjualbelikan kepada PT Makuta Rajni Pradipta dan PT Sinergi Pratama Mulia. Bahkan kemudian, PT Makuta Rajni Pradipa menjual kembali saham 85% itu kepada PT Gunung Rosan Group, sementara 15% saham lainnya tetap dimiliki oleh PT Sinergi Pratama Mulia.
Akibatnya, PT Paramindo harus menderita kerugian material senilai lebih dari US$ 5 juta. Karena, selain sudah mengeluarkan uang untuk membayar saham, kecuali yang tersisa US$ 250 ribu, PT Paramindo juga sudah memodali survei JORC tambang emas seluas 2.410 hektare itu. Atas upaya perbuatan melawan hukum, menghilangkan hak PT Paramindo atas PT Cikondang Kancana Prima, PT Paramindo pun lantas melaporkan Koswara Sasmitapura, Rozik B. Soetjipto, dan Prianda Raspati ke Pengadilan Negeri (PN) Jawa Barat.
Sementara itu, pihak Koswara Sasmitapura, Rozik B. Soetjipto, dan Prianda Raspati justru menyeret PT Paramindo ke Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dengan dalih tak kunjung melunasi sisa pembayaran yang hanya senilai US$ 250 ribu itu.
PN di Bandung telah mengeluarkan putusan sela pada bulan Desember 2016, menolak permohonan mengadili perkara ini dengan alasan perkara yang sama juga sudah ditangani oleh SIAC. Namun, PT Paramindo tetap mencari keadilan lewat gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN