Beranda ENERGI Energi Terbarukan APLSI: Agar Menarik Dimata Swasta Harus ada Subsidi Untuk EBT

APLSI: Agar Menarik Dimata Swasta Harus ada Subsidi Untuk EBT

Jakarta-TAMBANG. Asosiasi Produsen Listik Swasta Indonesia (APLSI) meminta agar kepentingan investasi, jaminan ketersediaan listrik, dan subsidi EBT ke depan tidak dibenturkan. Oleh karenanya subsidi untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 harus ada. Karena ini penting demi menjamin pasokan listrik untuk jangka panjang.

Hal ini disampaikan Sekretaris Jendral APLSI Priamanaya Djan dalam siaran pers sebagai tanggapan atas alotnya pembahasan subsidi EBT antara pemerintah dan legislasi. “Soal subsidi untuk EBT itu merupakan sebuah keniscayaan untuk menjamin keberlangsungan investasi swasta di EBT,” tandas Pria.

Pria melanjutkan agar kalangan swasta mau masuk ke sektor EBT, maka sektor ini harus menarik dari sisi bisnis salah satunya dengan diberi subsidi. peran swasta sangat penting karena harus diakui kemampuan Pemerintah sangat terbatas dalam mengembangkan EBT. Oleh karenanya antara kepentingan investasi dan subsidi tidak perlu diperdebatkan.

“Sebab investasi ini kan tujuannya untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan listrik bagi masyarakat dan menjangkau wilayah-wilayah yang belum tereletrikfikasi. Atau kita pilih tetap gelap-gulita. Rakyat juga yang susah,” jelas Pria.

Sebagaimana diketahui RAPBN 2017, disiapkan subsidi Rp 1,3 triliun untuk subsidi EBT. Dana tersebut dianggarkan untuk menutup selisih antara harga listrik dari EBT dengan biaya pokok produksi (BPP) listrik PLN. Tarif listrik dari EBT memang relatif mahal, perlu subsidi agar PLN dapat membelinya. Untuk listrik dari mikro hidro misalnya, PLN harus membeli dari Independent Power Producer (IPP) dengan harga Rp 1.560-2.080/kWh.

Lalu untuk listrik dari tenaga surya, harganya Rp 1.885-3.250/kWh. Sementara rata-rata BPP PLN Rp 1.352/kWh. Namun kemudian, subsidi ini menjadi perdebatan dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Plt Menteri ESDM, Luhut Binsar Padjaitan.

Beberapa anggota Komisi VII DPR berpendapat, subsidi EBT ini sebaiknya ditiadakan saja karena tidak untuk rakyat, melainkan untuk segelintir korporasi.

Sementara Wakil Bendahara Umum APLSI Rizka Armadhana menegaskan subsidi ini pun berujung pada kepentingan ketersediaan listrik dalam jangka panjang untuk rakyat. Apalagi, ke depan ketersediaan energi primer akan semakin mahal dan langka untuk menghidupi pembangkit ke depan.

“Misalnya ketersediaan batubara dalam negeri tidak bisa lagi jadi andalan ke depan di proyek 35ribu Megawatt (MW) ke depan. Sebab, menurut penelitian, komoditas ini akan habis pada tahun 2035, sedangkan energi terbarukan akan terbangkitkan sampai seterusnya,” ujar Rizka.

Dalam RAPBN 2017, pemerintah mematok pagu senilai Rp1,3 triliun untuk EBT dari total pagu subsidi energi senilai Rp92,2 triliun. Sementara, untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji tabung 3 kg dalam RAPBN 2017 direncanakan senilai Rp42.3 triliun atau turun sekitar Rp1,4 triliun bila dibandingkan pagu APBNP 2016 senilai Rp43,7 triliun.

Pagu subsidi pos ini terdiri atas subsidi jenis BBM tertentu (JBT) senilai Rp10,3 triliun dan subsidi elpiji tabung 3 kg senilai Rp32 triliun.