Beranda Mineral Antara Divestasi Saham Freeport Atau Mengakhiri Kontrak 2021 (part 2)

Antara Divestasi Saham Freeport Atau Mengakhiri Kontrak 2021 (part 2)

Lanjutan dari part 1 >>>>

Perhitungan valuasi harga saham sesuai best practice internasional dan dasar hukum di Indonesia adalah cut off valuasi harus mengacu pada batas akhir masa kontrak, karena setelah itu tidak ada lagi hak untuk memiliki revenue, serta pengembalian investasi juga harus selesai pada saat kontrak berakhir.

Jadi kata kuncinya adalah valuasi harga saham harus berdasarkan perhitungan sampai berakhirnya masa kontrak FI tangal 30 Desember 2021. Karena Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa sesuai peraturan perundangan PP 77 tahun 2014, perpanjangan kontrak FI hanya bisa dibahas 2 tahun sebelum habis masa kontrak 30 Desember 2021 yang berarti pembahasan Kontrak FI baru bisa dibicarakan paling cepat 30 Desember 2019.

Sehingga penjelasan FI ketika rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR,pada 20/01/2016, yang lalu menjelaskan bahwa 10,64% harga saham yang ditawarkan kepada pemerintah Indonesia dengan harga US$ 1.7 miliar dasar perhitungan dengan asumsi kontrak FI di Papua diperpanjang hingga 2041, jelas tidak sesuai dengan best practice internasional, sehingga wajar saja kalau banyak kalangan menilai harga tawaran FI kemahalan. Kegaduhan negeri ini saat FI berupaya keras meminta kepastian perpanjangan kontrak dipercepat sebelum penawaran harga saham divestasi, tentu itu yang harus ditanyakan dasar hukum FI menghitung sampai 2041.

Ada opsi lain yang saat ini mencuat kepermukaan yaitu pemerintah Indonesia menguasai 100% hak pengoperasian tambang emas dan tembaga di Papua yaitu dengan tidak memperpanjang kontrak karya FI, cukup hanya sampai berakhirnya masa kontrak 30 Desember 2021.

Dalam kontrak karya pasal 22 poin 2 tentang pengakhiran kontrak karya, disebutkan bahwa semua kekayaan kontrak karya milik FI, yang bergerak atau tidak bergerak yang terdapat di dalam wilayah-wilayah proyek dan pertambangan harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah Indonesia dengan harga atau nilai pasar, yang mana yang lebih rendah, tetapi tidak lebih rendah dari nilai buku. Kesempatan ini berlaku untuk 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penawaran yang disampaikan FI. Apabila pemerintah menolak untuk membeli maka FI baru boleh menjual, memindahkan atau dengan cara lain menyingkirkan setiap atau semua harta kekayaan tersebut dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah berakhirnya penawaran tersebut. Pemerintah akan menggunakan usahanya yang terbaik untuk membantu pemindahan oleh FI semua kekayaan kontrak karya tersebut apabila FI berkeinginan untuk menyingkirkanya.

Artinya hak untuk membeli semua aset-aset FI ada ditangan pemerintah Indonesia, sehingga peluang operasi tambang di Papua, yang selama ini dioperasi FI sangat mungkin untuk tetap dilanjutkan dengan cara pemerintah Indonesia membeli semua aset-aset FI yang artinya terjadi peralihan kepemilikan ke pemerintah Indonesia menjadi barang milik negera (BMN), dan tidak perlu merengek-rengek minta dividen yang sejak 2012 tidak pernah didapat karena pemerintah Indonesia tidak punya kewenangan dalam pembagian dividen FI, karena saham pemerintah Indonesia minoritas.

Kasus kontrak karya FI memang lebih komplek, karena berbeda dengan yang diterapkan untuk perusahaan asing di sektor tambang batubara (PKP2B) seperti KPC, Arutmin, dan lainya, begitu kontrak selesai dan tidak diperpanjang, maka semua aset fisik otomatis milik pemerintah Indonesia dan menjadi BMN, kalau kontrak karya yang dimiliki FI berbeda, dalam kontrak karya FI hanya fasilitas umum saja yg menjadi BMN, sementara pabrik dan fasilitas produksi lainya tetap milik FI, sehingga ketika Kontrak tidak diperpanjang maka aset-aset yang bukan BMN yang dihitung nilai bukunya. Ini yang harus mulai dihitung sekarang oleh tim yang saat ini dibentuk, harus dipastikan bahwa ketika kontrak tidak diperpanjang maka harga aset-aset milik FI benar-benar market-fair price tidak ada mark up dan cara depresiasinya juga benar, sehingga book value untuk aset juga benar perhitunganya. Dan tentunya hutang-hutang yang ada saat berakhirnya kontrak menjadi kewajiban FI termasuk kas di bank dan piutang dagang juga hak FI, termasuk biaya pesangon karyawan juga kewajiban FI yang harus disiapkan dari sekarang.

Opsi ini sangat penting difikirkan dari sekarang, sehingga pemerintah punya cukup waktu untuk mendetailkan semua opsi dari mulai divestasi saham sampai opsi perpanjang atau tidak perpanjang,  sehingga keputusan membeli saham divestasi ini juga sudah mempertimbangkan semua opsi tersebut yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan. Karena apapun alasanya, tujuan membeli saham divestasi FI yang hanya 10.64% ini adalah mendapatkan dividen dan menaikan besaran kepemilikan saham pemerintah Indonesia, secara finansial divestasi saham ini yang diharapkan dividen dan pengurangan nilai jual aset-aset FI yang kelak akan dibeli pemerintah Indonesia jika kontrak tidak diperpanjang, karena hasil penjualan aset-aset tersebut tentunya akan dibagi sesuai dengan besaran kepemilikan saham FI yang dimiliki pemerintah, itupun kalau pada akhir kontrak posisi kas FI positif setelah melunasi semua kewajiban-kewajibannya.

Tim yang sekarang sudah dibentuk pemerintah untuk valuasi harga saham divestasi FI terdiri atas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Sekretariat Kabinet, dan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Tim tersebut diharapkan bisa melakukan kajian yang menyeluruh, mengingat saatnya sekarang pemerintah masuk untuk melakukan audit terhadap FI.

Harapanya tim ini tidak berhenti hanya sampai pada masalah divestasi saham FI saat ini saja, tahapan divestasi saham FI akan terus berlanjut sampai mencapai 30% sesuai PP 77/2014, jadi jangan sampai nanti timnya dadakan lagi, nanti bikin kegaduhan lagi. Tim juga harus bisa memberikan rekomendasi awal sebagai gambaran kepada pemerintah untuk mengambil kebijakan terkait perpanjang atau tidak diperpanjang kontrak karya FI. Yang perlu difahami bersama, yang hendak kita akhiri adalah kontrak karya FI, bukan menghentikan operasi tambangnya. Karena dengan mengakhiri rezim kontrak karya hanya sampai 2021, hal ini untuk menata kembali sekaligus mengembalikan penguasaan kekayaan alam kepada Negara dan bangsa Indonesia melalui operasi penambangan yang mengedepankan azas sebesar-besar kepentingan negara dan rakyatnya serta menjadikan kekayaan alam sebagai modal pembangunan khususnya di Papua, tentunya kalau pun perpanjangan sudah dalam bentuk IUP atau IUPK sesuai yang diamanatkan UU No. 4/2009, kalau tidak diakhiri rezim kontrak karya yang dimiliki FI maka kita akan terus tersendera sampai 2041, dan itu artinya sama saja kita mewariskan keruwetan rezim kontrak karya ini kepada anak cucu kita nanti, kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau kesempatan ini tidak diambil oleh pemerintah sekarang, maka kita akan menunggu lagi sampai 2041, itu pun kalau cadanganya belum habis.

Semua pihak terkait, sebaiknya juga tidak membuat statement sepotong-sepotong tanpa kajian yang komprehensive dalam menyikapi masalah FI ini, misalkan dengan membuat statement, bangsa Indonesia tidak mampu mengambil alih FI karena bangsa Indonesia tidak memiliki ahli tambang, sementara faktanya 97.5% karyawan FI saat ini adalah putra putri bangsa Indonesia, jumlah tersebut belum menghitung alumni karyawan FI putra putri bangsa Indonesia yang banyak bekerja di perusahaan tambang asing termasuk yang bekerja diluar negeri, atau misalkan dengan menghembuskan isu PHK bila kontrak karya FI tidak diperpanjang, padahal tidak diperpanjangnya kontrak karya FI bukan berarti operasi tambang di Papua berhenti, banyak skemanya, satu hal yang harus kita sepakati bahwa operasi penambangan di Papua harus berlanjut.

Bila kontrak karya FI tidak dilanjut pastinya ganti nama perusahaan misalkan diganti dengan nama perusahaan tambang Freeport Indonesia Merdeka (FIM), artinya karyawan akan dapat pesangon dari FI dan tidak kehilangan pekerjaan karena masih dipekerjakan kembali sebagai karyawan FIM, dan ini sudah lazim dipraktekan dibanyak perusahaan, bahkan bangsa Indonesia pernah punya kisah sukses di tahun 2013, ketika pemerintah mengambil alih Inalum milik pemerintah Indonesia 100%, menjadi BUMN termuda, proses peralihan kepemilikan berjalan mulus karena pada prinsipnya karyawan diuntungkan.

Mengapa kita harus sepakat untuk keberlangsungan operasi penambangan di Papua, karena ditahun 2010 saja 68% PDRB provinsi Papua dan 96% PDRB kabupaten Mimika bergantung pada keberlangsungan dari operasi penambangan ini. Bahkan Operasi penambangan emas dan tembaga di Papua, sangat banyak keuntunganya di masa depan selama cadangan belum habis, dari mulai belanja barang dalam negeri US$  1,2 miliar/tahun, potensi penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak US$ 1,3 miliar/tahun,  potensi konribusi CSR US$ 113 juta/tahun, sampai hilirisasi pertambangan bahkan bisa sampai membangun industri tembaga di Indonesia, dan semua itu akan mudah dikendalikan serta dioptimalkan untuk memberi nilai tambah bagi bangsa Indonesia jika pemerintah Indonesia punya kendali penuh, dengan kepemilikan minimum 51% saham, disamping itu mudah untuk disinkronkan dengan program pembangunan yang sudah dicanangkan pemerintah Indonesia di Papua, sehingga konsep kekayaan cadangan mineral yang ada di bumi Papua yang tak terbarukan dan suatu saat akan habis, harus diperlakukan sebagai modal dan daya ungkit pembangunan di Papua, sehingga bisa menjadi motor penggerak pembangunan di Papua, bukan sebagai komoditi atau barang dagangan semata, jangan sampai cadangan sudah habis tetapi pembangunan di Papua masih tertinggal.

Kita sudah banyak belajar dan menila komitmen FI selama kontrak karya berlangsung, yang masih hangat dalam ingatan kita adalah komitmen membangun smelter di Indonesia. Pemerintah kurang tegas apalagi untuk masalah ini, ketegasan pemerintah Indonesia sudah maksimal, karena dituangkan dalam bentuk Undang-Undang dan tidak ada perintah yang lebih tinggi lagi dari Undang-Undang, jelas sekali disebutkan dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tetang Minerba pasal 170 yang memerintahkan FI wajib melakukan pemurnian konsentrat tembaganya didalam negeri, jadi sudah tidak boleh lagi menjual konsentrat tembaganya keluar negeri.

Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang tersebut cukup masuk akal, karena diberi tenggang waktu selama 5 tahun untuk membangun smelter pemurnian konsentrat tembaga di Indonesia, tetapi kenyataan yang didapat sampai akhir batas waktu 12 januari 2014, feasibility study (FS) smelter pun belum dibuat oleh FI, malahan perusahaan induknya FCX pada tahun 2013 lebih tertarik masuk ke bisnis minyak dengan membeli perusahaan minyak Plains Company seharga US$ 9 miliar, padahal investasi untuk membangun smelter hanya membutuhkan dana sebesar US$ 2.3 miliar saja, bahkan untuk memaksa FI membangun smelter di Indonesai pemerintah harus tersandera dengan tetap mengijinkan FI mengeskport konsentrat tembaganya, itupun selalu ada tarik-ulur setiap 6 bulan sekali, baik pemerintah maupun FI saling tersandera ketika memberikan surat persetujuan eskpor (SPE) konsentrat tembaga, dimana secara aturan mengenakan tarif bea keluar ekspor kosentrat tembaga secara progresif sesuai Peraturan   Menteri   Keuangan  (PMK)  No  6/ PMK.011/2014, yang sekarang sudah diubah dengan tarif yang lebih kecil dengan alasan sebagai insentif dari progres pembangunan smelter yang dikerjakan FI, dimana penurunan tarif itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK. 011/2014, dimana sesuai pasal 4A ayat 4 mengatur tentang adanya penempatan uang jaminan kesungguhan pembangunan smelter FI dengan nilai uang jaminan sebesar US$ 530 juta yang sampai habis berlaku SPE periode 28 Juli 2015 hingga 28 Januari 2016, FI belum memberikan uang jaminan tersebut, sehingga SPE untuk izin eskpor konsentrat FI belum diberikan pemerintah.

Keengganan FCX masuk dalam bisnis hilir pertambangan khususnya smelter sebenarnya sudah terlihat sejak awal ketika pabrik smelter PT Smelting yang di didirikan di gresik tahun 1996, dimana saham FI di PT Smelting hanya 25% saja, sisanya dimiliki konsorsium Jepang. Inilah dampak kalau kekayaan alam Indonesia yang tidak bisa terbarukan ini dikelola dengan pedekatan sebagai komoditi atau bisnis barang dagangan semata, arah kebijakanya sesuai selera bisnis FCX yang lebih tertarik masuk ke bisnis minyak ketimbang membangun smelter. Keputusan ini akan berbeda ketika kekayaan alam yang ada di Papua diperlakukan sebagai modal dan daya ungkit pembangunan.

Cerita pemerintah inilah yang harus dihentikan sekaligus mengembalikan martabat bangsa dan negara Indonesia atas pengelolaan kekayaan alamnya sesuai UU No.4/2019 yaitu dengan penerbitan IUP atau IUPK, dimana wilayah bekas Kontrak Karya FI tersebut berubah status menjadi ’’wilayah pencadangan nasional’’ (WPN). kemudian pemerintah bisa mengeluarkan izin khusus (IUPK) tanpa harus tender, pemerintah Indonesia harus menata ulang aturan mainya dengan mengembalikan kedaulatan bangsa dan negara sebagai pemilik kekayaan alam Indonesia sesuai amanah pasal 33 ayat 3 UUD45 bahwa kekayaan alam  yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, skemanya bisa banyak, misalkan yang mendapat IUPK bisa FCX lagi dengan kepemilikan saham yang lebih besar dan bisa mengendalikan FI atau perusahaan lain atau BUMN atau BUMD atau skema lainya dengan tetap mengedepankan keberlangsungan operasi tambang emas dan tembaga di Papua tetap berjalan.

Sebagai penutup, ada 2 hal yang perlu diingatkan, yang pertama agar jangan sampai membeli saham divestasi FI kemahalan dan keputusan mengeluarkan uang untuk membeli saham FI harus juga membandingkanya dengan opsi jika kontrak FI tidak diperpanjang, hal ini agar tidak ada satu orangpun pejabat yang terkena pasal merugikan negara, kedua jangan sampai negara membeli kekayaan alam miliknya sendiri sebagai bentuk pelaksanaan pasal 33 UUD45. kita berharap semua orang baik negeri ini bersatu untuk mengawal proses ini, tentu juga dengan cara-cara yang baik dan benar, karena kita tidak ingin niat baik pejabat berwenang saat ini, menjadi masalah dikemudian hari hanya karena caranya tidak benar.

Apapun keputusan yang diambil harus memberikan manfaat yang lebih besar dari yang sekarang diterima untuk kepentingan negara dan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu perlu persiapan A sampai Z nya dan dibuat road mapnya agar penyelesaian masalah kontrak karya FI ini berjalan mulus dan dapat memberikan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat Indonesia, khususnya di Papua, dan tentu masalah ini tidak akan bisa dibahas kalau hanya dalam kurun waktu 2 tahun sebelum habis kontrak FI, karena ini akan menyulitkan bagi pihak yang punya keinginan memperpanjang maupun menyulitkan pihak yang punya keinginan tidak memperpanjang kontrak FI.

Sebagai contoh kisah sukses pengambil alihan Inalum saja membutuhkan waktu persiapan pembahasan 3 tahun sebelum habis Kontrak sejak 2010, dimana waktu itu, 9 Desember 2013, Inalum menjadi 100% milik Indonesia yang sebelumnya dikuasai Nippon Asahan Aluminium (NAA) milik Jepang, dengan nilai pemindahan kepemilikan sebesar US$ 556.7 juta. Baik FI maupun Inalum ketika masuk sebagai modal asing ke Indonesia di masa pemerintahan Orde Baru, payung hukumnya sama yaitu UU No.1/1967 tentang penanaman modal asing, bahkan dalam buku “Anak Hilang Kembali Ke Pangkuan” halaman 30, disebutkan bahwa proyek Inalum nilai investasinya terbesar dimasanya yaitu dengan nilai investasi sebesar 411 miliar yen.

 

 

*) Risono, sejak lulus dari jurusan Teknik Pertambangan ITB sampai sekarang sudah hampir 16 tahun bekerja diperusahaan tambang, pernah menjadi ketua serikat pekerja tambang emas 2004-2006, anggota PII (Persatuan Insinyur Indonesia), dan aktif di pengurus Perhapi (Persatuan Ahli Pertambangan Indonesia) sebagai  wakil ketua bidang kajian ekonomi dan nilai tambah.