Sejak kasus Papa Minta Saham mencuat ke publik maka nama Freeport sudah menjadi perbincangan publik. Banyak publik yang membicarakan Freeport tetapi banyak yang belum bisa membedakan Freeport yang dimaksud itu Freeport yang mana. Ini pernah dibuktikan, ketika di group WA banyak yang share tulisan Dahlan Iskan tentang Freeport, kemudian di group sebelah juga ada yang share info bahwa wartawan menanyakan berita terkait kabar Freeport mau bangkrut, ini Freeport yang mana ?
Perusahaan tambang emas dan tembaga yang ada di Grasberg, Papua adalah PT Freeport Indonesia, dimana kepemilikan saham dalam PT Freeport Indonesia (FI) adalah 9,36% milik Pemerintah Indonesia (NKRI), sisanya 90,64% dikuasai Freeport McMoran (FCX).
Jadi saham Freeport yang akan dilakukan divestasi adalah saham FI yang dimiliki oleh FCX, hal ini sesuai dengan ketentuan PP 77/2014 dimana FCX wajib melepas kepemilikan sahamnya sampai 30% kepada Pemerintah Indonesia secara bertahap, dimana untuk tahap pertama harus divestasi sampai 20%, karena pemerintah Indonesia sudah memiliki 9,36% maka sisanya 10,64% inilah yang sedang ditawarkan FCX kepada pemerintah Indonesia dengan harga US$ 1.7 miliar.
Tulisan Dahlan Iskan yang menyinggung harga saham Freeport di New York adalah Freeport McMoran dengan kode saham FCX, yang harganya sedang jatuh, saat ini pada penutupan bursa 29 Januari 2016 di New York harga FCX US$ 4.60 per lembar saham, dengan harga ini maka untuk dapat memiliki 100% saham FCX, market Cap-nya sebesar US$ 5.75 miliar.
Penawaran harga saham FI ditengah harga saham perusahaan induknya FCX yang sedang terjun bebas menjadi menarik dan sulit untuk tidak dikaitkan. Dalam valuasi harga saham dengan metode Sum Of The Parts (SOTP), nilai FCX adalah penjumlahan dari semua nilai anak perusahaan yang dimiliki FCX termasuk FI berada didalamnya. Dimana FCX sendiri memiliki 5 tambang yang tersebar di beberapa negara diantaranya Indonesia, Amerika Serikat, Kongo, Peru, dan Chili. Semua tambang tersebut merupakan core bisnis utama FCX, dan baru tahun 2013 FCX membeli perusahaan minyak, Plains Company.
Metode SOTP dalam menghitung harga saham berdasarkan psikologis pasar saat ini, tentunya sangat dipengaruhi sentimen pasar khususnya isu-isu terkait bisnis anak-anak perusahaan yang tergabung dalam FCX. Apabila ada anak perusahaan FCX selain FI mendapatkan sentimen negatif khususnya yang bergerak di bisnis minyak tentu nilai positif FI yang masih memberi kontribusi revenue rata-rata ke FCX sebesar 17,1% selama rentang waktu 2012, 2013 dan 2014 pun akan terbawa sentimen negatif bila dicerminkan didalam saham FCX. Sehingga jika berdiri sendiri menjadi saham FI, bisa saja lebih besar harga sahamnya dari FCX, karena sentimen pasarnya tentu akan berbeda. Kalau pun pendekatan harga pasar ini dipaksakan dengan metode SOTP, dengan menghitung proporsional kontribusi FI sebesar 17,1% terhadap FCX atau FI sama dengan FCX, secara matematis bisa saja dihitung 10,64% harga saham FI sekitar US$ 105 juta sampai US$ 612 juta, tetapi sebagai orang tambang, tidak setuju dengan pendekatan cara ini, kecuali pemerintah sudah menyerahkan penjualan saham FI ke mekanisme pasar saham melalui IPO, semuanya akan bergantung pada psikologis harga pasar ditengah harga komoditas yang sedang turun.
Walau demikian, pemerintah Indonesia jangan sampai terjebak dalam urusan jual-beli saham FI semata, pemerintah harus belajar dari pengalaman divestasi 9.36% saham FI hak pemerintah Indonesia di era Orde Baru, dimana saat itu pada tahun 1991 pemerintah tidak membeli saham divestasi tersebut, dan kemudian dibeli oleh grup Bakrie melalui Indocopper Investama, bahkan Bakrie hanya membayar sekitar 19% saja dari harga yang ditawarkan FCX, sisanya dibayar melalui pinjaman dari lembaga keuangan yang berafiliasi dengan FCX, dimana skema pelunasanya dengan cara dicicil dari dividen yang akan diterima, kemudian transaksi perpindahan saham FI tersebut terus berlanjut baik dengan FCX maupun Nusamba Mineral Industri, yang pada akhirnya tahun 2002 FCX membeli semua saham FI, sehingga otomatis kepemilikan FCX atas FI kembali menjadi 90.64%. Artinya saham FI yang di divestasi tahun 1991 kembali kepada FCX. Disamping itu, juga pernah punya pengalaman yang tidak menguntungkan pemerintah ketika divestasi saham Newmont yang melibatkan Pemerintah daerah setempat dan swasta, tentu kita berharap semua ini bisa dijadikan pelajaran berharga buat bangsa Indonesia kedepan.
Opsi penjualan saham FI melalui IPO, perlu difikirkan secara hati-hati, hal ini akan menambah tekanan terhadap pemerintah untuk memperpanjang kontrak FI setelah 2021, karena untuk bisa kembali modal tentu yang diharapkan investor adalah dividen dari FI, sementara sejak 2012 sampai sekarang, FI tidak melaksanakan kewajiban ataupun penundaan pemberian dividen dengan alasan sedang membutuhkan dana untuk pengembangan, baik pembangunan smelter maupun perluasan tambang bawah tanah. Tentu alasan ini sukar diterima oleh pemerintah dan tidak elok ditinjau dari sudut pandang kepentingan pemasukan untuk pemerintah, mengingat berdasarkan laporan tahunan FCX ternyata FI masih bisa memberikan revenue kepada FCX di tahun 2012, 2013 dan 2014.
Opsi konsorsium BUMN yang dibentuk untuk mengambil divestasi saham FI harus benar-benar diperhitungan apalagi menggunakan pinjaman asing dan mengharapkan pengembalian cicilan lewat dividen dari FI, kecuali konsorsium BUMN tersebut merupakan bagian dari persiapan pemerintah Indonesia untuk melanjutkan operasi penambangan setelah 2021, itu masih dimungkinkan, karena kalaupun tidak balik modal dari dividen, uang pembelian saham tersebut bisa dianggap sebagai “uang muka” pembelian aset-aset FI bila tidak diperpanjang, sambil memasukan 1 orang direksi di FI sebagai perwakilan konsorsium BUMN sekaligus mengawal agar FI menyerahkan aset-asetnya dalam kondisi terbaiknya sekaligus menyiapkan hal lain dalam rangka transisi pengoperasian tambang secara baik dan benar, sehingga kekhawatiran stagnasi yang berakibat berhentinya operasi penambangan di lahan bekas kontrak karya FI tidak terjadi, tentu semua harus dipertimbangkan secara matang.
Pemerintah Indonesia sebaiknya fokus pada tujuan utama divestasi saham FI yaitu untuk meningkatkan peran negara sebagai pemegang mandat kekayaan alam sesuai amanah pasal 33 ayat 3 UUD45 dan menaikan nilai tambah atas keberadaan operasi penambangan FI bagi negara dan rakyat Indonesia melalui dividen. Hal ini karena hasil yang didapat pemerintah Indonesia dari dividen 9.36% saja, nilainya bisa lebih besar bila dibandingkan pendapatan pemerintah dari royalti seperti yang pernah terjadi pada tahun 2005, 2006, 2009 dan 2011. Walaupun sejak 2012 sampai sekarang dividen FI sudah tidak diberikan lagi, ditagih juga susah, intinya memang tidak ada lagi yang didapat pemerintah Indonesia dari dividen.
Dalam perhitungan harga divestasi saham, sebenarnya pemerintah sudah memiliki Permen ESDM No.27/2013 seperti yang diatur dalam pasal 13, dijelaskan bahwa harga divestasi saham itu berdasarkan biaya penggantian (replacement cost) atas jumlah kumulatif biaya investasi yang dikeluarkan sejak eksplorasi sampai sekarang yang dikurangi akumulasi penyusutan, amortisasi dan kewajiban keuangan.
Artinya bila valuasi pemerintah Indonesia mengacu pada aturan ini secara sederhana bisa diestimasi berdasarkan nilai aset FI. Kalau kita lihat laporan tahunan FCX tahun 2014, besaran nilai aset perusahaan FI sebesar US$ 8.63 miliar, yang tentunya nilai ini perlu audit ulang utk memastikan tidak ada mark-up dalam pengadaan aset, aset tidak tercampur expenses dan depresiasinya sudah benar. Bila dihitung dari nilai aset tersebut secara proporsional 10,64%, maka kisaran nilainya sebesar US$ 918.2 juta, artinya nilai penawaran FI US$ 1.7 miliar dengan pendekatan ini tentu masih kemahalan.
Walau demikian, tidak menyarankan angka ini dijadikan patokan, karena nilai aset FI yang dilaporkan tersebut belum diaudit oleh pemerintah Indonesia, tim valuasi harga saham FI tentu harus punya hitungan yang teliti dan punya dasar hukum yang kuat, karena yang dipakai untuk membeli saham FI adalah uang negara.
Kalau melihat metode valuasi yang ada dalam Permen ESDM 27/2013 tersebut, tidak lazim diterapkan untuk perusahaan tambang yang sudah beroperasi seperti FI dan tidak biasa untuk best practices internasional, dimana valuasi harga saham untuk tambang yang sudah produksi adalah discounted cash flow (DCF), metode ini terdapat pada Standar Penilaian Indonesia (SPI) 305 untuk penilaian properti industri pertambangan, SPI 101 untuk nilai pasar sebagai dasar penialaian, SPI 351 untuk analisis discounted cash flow dan bisa dilihat panduan internasional lainya seperti Valmincode, Cimval, dan metode valuasi internasional lainya yang lazim diterapkan.
Secara umum best practices valuasi untuk perusahaan tambang yang sudah berproduksi biasa digunakan adalah discounted cash flow (DFC), dimana dalam valuasinya harus dibuat rencana produksi yang nantinya menjadi basis revenue dan cash cost serta configurasi aset dan depresiasinya. Kemudian diintegrasikan dengan rencana produksi dan rencana penjualan ke dalam model finansial mulai tahun 2016 dengan cut-off sampai dengan berkahirnya kontrak karya yaitu sampai 2021.
Kemudian ditetapkan juga discount factornya, biasanya yang digunakan adalah Weighted Avarage Cost of Capital (WACC) dengan mempertimbangkan trend bisnis FI saat ini. Jadi selain rencana penjualan, maka harus diproyeksikan juga harga komoditas utama FI yaitu emas dan tembaga sampai dengan akhir kontrak 2021, sehingga trend business dan trend merosotnya harga komoditas, akan mempengaruhi valuasi harga saham FI. Hasil akhir dari model finansial itu berupa Net Present Value (NPV). Dan hitungan NPV-nya tidak besar karena hanya sampai 2021, disamping sampai 6 tahun ke depan trend harga komoditas juga masih belum ada tanda-tanda membaik, tentu ini harus dinegosiasikan. NPV tersebut, belum harga akhir, karena masih mengandung pengembalian investasi FI dan proyeksi profit, jadi pemerintah Indonesia harus menawar lagi, dan bisa meminta penurunan harga dari NPV tersebut, misal discount 30%, besaran discount ini terkait negosiasi proyeksi profit dan antisipasi resiko bisnis baik teknis maupun non teknis seperti resiko penurunan harga emas dan tembaga, serta pemerintah hanya memiliki kumulatif saham minoritas sehingga tidak punya hak mengontrol FI.
>>>> lanjut kebagian (2)