Jakarta, TAMBANG – Analis senior untuk Gas dan Listrik Wood Mackanzie Edi Saputra, meminta pemerintah untuk membuka kran ekspor gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG). Ini karena, tahun 2018, pasokan LNG Indonesia kelebihan 3.2 juta Metrik Ton (MT).
Saat ini, menurut Edi, pasokan LNG sudah mencapai 18.5 juta MT yang berasal dari Kilang Bontang sebesar 9 juta MT, dari Kilang Tanggung sebesar 7 juta MT dan 2.5 juta MT dari Kilang Donggi Senoro. Setelah alokasi untuk komitmen ekspor sebesar 12.5 juta MT untuk pembeli di pasa Asia Timur seperti Jepang, Taiwan dan China sebesar 6 juta MT. Kemudian untuk kebutuhan pasar domestik dengan sebesar 2.8 juta MT. Maka pasokan LNG masih tersisa 3.2 juta MT.
“Kelebihan 3-4 juta MT ini terlalu besar untuk pasar spot LNG. Tahun 2019 kemungkinan surplus (kelebihan pasokan) lagi. Salah satu langkah yang bisa diambil pemerintah harus fleksibel untuk membuka kran ekspor LNG,” kata Edi Saputra, di sela-sela pertemuan Executive Comitte Gas Indonesia Summit & Ekhibition 2018, di Jakarta, Jumat (16/3).
Penurunan kebutuhan domestik juga menjadi penyebab kelebihan pasokan LNG. Tercatat dalam data Wood Mackenzie, tahun 2017 kebutuhan domestik hanya 2.4 juta MT, turun 15 persen dari tahun 2016 sebesar 2.8 juta MT. Sementara diperkirakan tahun 2018 ini baru kembali rebound ke posisi yang sama di tahun 2016 sebesar 2.8 Juta MT. Hal ini didorong mulai jalannya beberapa pembangkit listrik, terutama unit tambahan Pertamina.
Sementara untuk ekspor, pemerintah saat ini sudah memutuskan untuk membatasi ekspor. Tercatat tahun lalu beebrapa kontraktor yang sudah berhenti juga ditolak perpanjangannya oleh pemerintah. Diantaranya kontrak ekspor dengan Kogas (Korea) dan CPC (Taiwan).
Sebab, masih banyak pangsa ekspor menjanjikan untuk pasokan LNG dari Indonesai. Diantaranya adalah potensi ekspor 75 persen ke negara-negara di Asia Pasifik. Dari 290 juta MT kebutuhan pasar internasional pada tahun 2017, sebanyak tiga perempat kebutuhan dari pasar Asia Pasifik.
“Dalam kondisi seperti ini, pengurangan produksi bukan opsi yang direkomendasikan. Pemerintah tidak perlu khawatir ekspor LNG, karena kita perkirakan akan kelebihan pasokan,” jelas Edi.
Begitu juga dengan rencana impor LNG yang sedang dipersiapkan pemerintah melalui Pertamina pada 2019 nanti. Menjadi opsi yang tidak direkomendasikan Edi pada saat ini. Peluang kemungkinan impor menurutnya, baru bisa terjadi pada tahun 2025.
“Untuk maintenance balance bagi pasar, Indonesia harus berani mengambil langkah membuka kran ekspor,” tukas Edi.
Kelebihan pasokan LNG ini juga diperkuat oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) Arief Setiawan Handoko. Menurutnya, neraca LNG akan surplus karena bebera kontrak ekspor telah dihentikan.
“Ini untuk membantu program pemerintah memenuhi kebutuhan domestik LNG, makanya sebagian kontrak ekspor tidak diperpanjang,” kata Arief .