Jakarta, TAMBANG – Asosiasi Metalurgi dan Mineral Indonesia (AMMI) meminta pemerintah agar tidak tergesa-gesa mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba). Pasalnya, RUU yang rencananya akan terbit pada bulan Juli 2018 itu, belum layak untuk diterbitkan.
“AMMI minta pemerintah Indonesia untuk menunda penerbitan RUU Minerba. Perlu ada pelibatan para praktisi dan pakar sebelum draft tersebut disahkan sebagai UU,” kata Ketua Umum AMMI, Ryad Chairil melalui siaran resminya, Senin (2/7).
Ryad memandang, RUU perubahan atas UU No 4 tahun 2019 ini tidak mencerminkan adanya kebijakan perencanaan pengembangan dan pengusahaan minerba nasional jangka panjang. Pasal-pasal yang direvisi seakan-akan dibuat dengan tujuan pengusahaan jangka pendek. Serta tidak mengindahkan kepentingan pengembangan dan pengelolaan minerba.
Sorotan AMMI fokus pada isu hilirisasi. Salah satunya tentang ketentuan ekspor konsentrat yang hanya dipatok berkadar 75 persen. Kebijakan ini akan membawa dampak pelemahan terhadap industri pengolahan dan pemurnian yang mampu memberi nilai tambah di dalam negeri.
“RUU Minerba ditengarai akan membuka ruang bagi ekspor bahan baku bijih mineral yang sebetulnya sudah dilarang oleh UU Minerba saat ini,” tegas Ketua Pokja Kajian RUU Minerba AMMI, Siswandika.
Dampak spesifik dari kebijakan ini adalah, terhambatnya pertumbuhan industri baja dan material dasar nasional yang sangat penting bagi pertahanan dan kedaulatan negara.
AMMI mengusulkan agar pemerintah tidak mengatur secara detail kadar konsentrat yang bisa diekspor. Sebab, pengertian batas nilai tambah akan terus berkembang seiring kemajuan teknologi.
Selain itu itu, AMMI juga merekomendasikan agar penetapan Wilayah Pertambangan bekas KK atau PKB2B tidak perlu melalui konsultasi ke DPR RI. Tapi cukup melalui Menteri atas rekomendasi Pemerintah Daerah.
Lalu WP bekas perusahaan asing itu harus dimanfaatkan, untuk memperkuat peran BUMN dan menjamin ketersediaan bahan baku industri dalam negeri.