Beranda Tambang Today Aktivis Lingkungan: Perlu Payung Hukum Untuk Moratorium Lahan Sawit dan Tambang

Aktivis Lingkungan: Perlu Payung Hukum Untuk Moratorium Lahan Sawit dan Tambang

Jakarta-TAMBANG. Pernyataan Presiden Joko Widodo pada 14 April 2016 lalu, terkait rencana moratorium lahan sawit dan tambang, seolah memberikan angin segar bagi penyelamatan lingkungan. Akan tetapi, aktivis lingkungan seperti Greenpeace, Walhi dan Jatam berpendapat rencana moratorium ini harus juga diiringi dengan review maupun pembatalan berbagai kebijakan dan program pembangunan pemerintah, khususnya terkait dengan pertambangan dan energi.

“Jika rencana moratorium ini tidak didahului dengan review kebijakan dan program pembangunan Pemerintah, maka rencana moratorium ini tidak akan bisa menyelesaikan kompleksitas permasalahan industri tambang, khususnya yang berkaitan dengan lahan seperti perampasan, tumpang tindih dan alih fungsi lahan,” ujar Kepala Unit Kajian WALHI, Pius Ginting, Rabu (20/4).

Karena menurutnya, itu akan mengulang cerita yang sama pada Moratorium Hutan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY pada 2011. Di mana, Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan lahan Gambut, tidak terimplementasikan dengan baik karena tidak diiringi dengan restrukturisasi dan perbaikan di sektor kebijakan yang terkait. Yang kemudian malah diperparah dengan terbitnya PP No. 60 tahun 2012 Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, yang semakin mempercepat alih fungsi kawasan hutan menjadi hutan industri dan perkebunan sawit.

Saat ini kurang lebih 35% daratan Indonesia telah dikapling oleh konsesi pertambangan. Luas wilayah tersebut akan bertambah, mengingat pemerintah, melalui ESDM, berturut-turut sejak Juli 2013 hingga Februari 2014, telah menerbitkan Keputusan Menteri tentang Penetapan Wilayah Pertambangan (Kepmen WP) untuk seluruh wilayah Indonesia. Melihat peta dalam setiap Kepmen WP tersebut, maka bisa disebut 90% daratan Indonesia telah ditetapkan sebagai wilayah pertambangan. “Jika Kepmen ESDM ini belum dicabut, maka pernyataan Presiden Joko Widodo tak akan berarti apa-apa,” jelasnya.

Walaupun, kata dia, pemerintah berencana menerbitkan One Map Policy (OMP), hal ini dirasa masih belum cukup kuat untuk memastikan pelaksanaan Moratorium Lahan Tambangan dan Sawit. Karena OMP paling tinggi hanya akan dituangkan dalam Keppres, sedangkan Penetapan WP adalah amanat dari UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Apalagi dalam Kepmen WP ini, tidak ada pengecualian kawasan, seperti Pemukiman; kawasan pangan; konservasi dan lindung. Oleh karena itu, review dan pencabutan Kepmen WP adalah hal yang mutlak harus dilakukan agar ada kepastian hukum dalam pelaksanaan moratorium tambang. Pelaksanaan moratorium harus juga disertai dengan evaluasi seluruh perizinan pertambangan.

“Dengan kondisi 35% daratan Indonesia yang sudah dikapling oleh 11.000-an izin tambang, evaluasi perizinan menjadi hal mutlak dalam pelaksanaan moratorium. Apa lagi hampir 50%, atau 4.87 izin tambang, berstatus Non Clear and Clear dan lebih dari setengahnya bermasalah dengan kawasan lindung dan konservasi,” tuturnya.

Selain melakukan review dan restrukturisasi kebijakan, pemerintah juga harus melakukan review terhadap program-program pembangunan yang berkaitan erat dengan sektor tambang dan energi. Dalam program eletrifikasi 35.000 MW, misalnya, pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh, mengingat 20.000 MW dalam program eletrifikasi tersebut berasal dari PLTU batubara. Artinya, program elektrifikasi ini masih akan membutuhkan pasokan batubara yang besar dari pertambangan batubara. Akan meningkatkan konsumsi batubara Indonesia hingga 200 juta ton pertahun.

Bahkan, pemerintah juga harus mengevaluasi kembali target pertumbuhan ekonomi 7% hingga 2019, sebagaimana yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019. Target pertumbuhan ekonomi yang masih menitik-beratkan pada besaran Investasi ini, secara langsung meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam, baik itu untuk kebutuhan infrastruktur atau perdagangan komoditas.

Jika Pemerintah benar-benar serius dengan rencana moratorium tambang, maka Pemerintah harus berani melaksanakan: evaluasi seluruh izin pertambangan di Indonesia; review dan restrukturisasi kebijakan terkait dengan pertambangan, khususnya mencabut Kepmen WP; mengevaluasi program pembangunan Pemerintah, yang secara langsung atau tidak langsung, memperluas ekspansi pertambangan dan eksploitasi sumberdaya alam.

Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting menuturkan upaya tersebut menuntut keterbukaan data kehutanan termasuk konsesi tambang, kelapa sawit dan HTI. Ia berharap bahwa pengumuman Presiden Jokowi atas moratorium izin pertambangan dapat secepatnya dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden yang berkekuatan hukum mengikat.

Menurut Kepala Greenpeace untuk Kampanye Global Hutan Indonesia, Kiki Taufik menambahkan, masih banyak wilayah hutan yang masuk dalam konsesi industri perkebunan dan kehutanan. Moratorium HGU konsesi, lanjutnya, akan melindungi seluruh hutan yang tersisa, termasuk di dalam konsesi.
“Pemanfaatan perkebunan kelapa sawit oleh petani mandiri skala kecil juga harus didorong. Pemain besar dapat membantu dengan menyediakan keahlian mereka untuk membantu keluarga petani meningkatkan produktifitas,” imbuhnya.