JAKARTA–BEIJING—TAMBANG. TAHUN lalu para produsen aluminium mengeluh terhadap rendahnya harga, lantaran pasokan berlebih sementara permintaan lemah. Tahun ini, isyunya tidak bergeser. Penyebabnya, para produsen tidak mau menuntaskan persoalannya.
Kantor berita Reuters, dalam laporannya Kamis kemarin menyebut, Cina menghasilkan sekitar 27,5 juta ton aluminium, tahun lalu. Angka ini dikutip dari konsultan AZ China. Lebih tinggi dari angka resmi dari pemerintah, yang menyebut angka 24,4 juta ton. Tetapi angka resmi pemerintah ini belum memasukkan produsen kecil dan swasta.
Produksi Cina itu hampir separuh produksi dunia. Kapasitas produksi smelter aluminium di Cina setahun 36 juta ton. Menurut AZ China, tahun ini Cina akan menambah produksinya 3,5 juta ton.
Dengan adanya penambahan kapasitas di pabrik yang ada, penutupan terhadap smelter kuno, dan adanya pabrik baru, AZ China memperkirakan, produksi aluminium Cina totalnya mencapai 29 juta ton pada 2015, pertambahan 5,5% dibanding produksi 2014.
Pertanyaannya: bila produksi dan ongkosnya bertambah, sementara harga masih rendah, apakah smelter akan tutup?
Tahun lalu, ketika harga aluminium di Shanghai anjlok pada kuartal pertama, beberapa smelter harus menganggur. Mereka tak bisa menutupi biaya operasi.
Pemerintah daerah memberi subsidi terhadap smelter tersebut, demi mempertahankan tenaga kerja dan pajak, membuat smelter merugi itu tetap bisa beroperasi.
Harga kontrak aluminium di Bursa Futures Shanghai turun sekitar 8,5% dalam tiga bulan pertama 2014, sebelum akhirnya naik lagi sekitar 15% pada awal September.
Tetapi kemudian harganya turun tajam, dari September hingga akhir Desember berkurang hingga 13-14%. Dibanding awal tahun 2014, harga aluminium pada Desember 9,2% lebih rendah.
Pada kuartal keempat tahun lalu, hanya 11 smelter, atau sepertiga dari total smelter yang ada, yang berlaba.
Antara Subsidi atau Tutup
Inilah lingkaran setan yang selama ini terjadi: smelter merugi diberi subsidi oleh pemerintah daerah, agar tetap bisa mempertahankan tenaga kerja dan bisa memberi pajak.
Kementerian Industri dan Teknologi Informasi dalam laporan yang dikeluarkan Rabu lalu mengatakan, penutupan smelter memang merugi, karena akan menimbulkan pengangguran, berkurangnya pajak, dan hutang pemerintah daerah yang sudah terlanjur memberi subsidi.
Kementerian menawarkan solusi: smelter aluminium dimerger dengan pembangkit listrik lokal, untuk mengurangi ongkos. Gagasan ini kelihatannya bagus, tetapi tidak ada yang mendengarkan.
Para produsen aluminium Cina terus saja mendongkrak produksinya, bahkan pertumbuhannya lebih cepat ketimbang permintaan. Harga diperkirakan akan makin turun.
Untuk mengekspor juga tidak mudah, karena pemerintah memberlakukan 15% pajak terhadap aluminium mentah. Ekspor produk setengah jadi bertambah pada 2014. Pengapalan aluminium bentuk batangan naik 40% menjadi 854.682 ton, tahun lalu. Sementara yang dalam bentuk lembaran bertambah 11,9% menjadi 1,74 juta ton.
Problem lebih jauh bagi smelter Cina adalah mencari alumina dan bauksit.
Sementara Cina mendorong penambangan bauksit, Cina harus mencari sumber lebih banyak dari luar negeri. Dan mungkin harus membayar harga lebih mahal. Sebelumnya, Cina banyak mendapat pasokan bauksit dari Indonesia, yang merupakan produsen 12% bauksit dunia.
Impor bauksit Cina tahun lalu anjlok 48% menjadi 36 juta ton, setelah Indonesia melarang ekspor mineral mentah. Penurunan itu juga terjadi lantaran setahun menjelang pelarangan ekspor, Cina mengimpor bauksit besar-besaran.
Hanya pada awal Januari 2014 saja, Cina mengimpor 8,5 juta ton bauksit dari Indonesia. Angka yang luar biasa.
Tahun ini, diperkirakan impor bauksit lebih banyak. Para produsen pun harus siap membeli bauksit dengan harga lebih mahal, di saat permintaan terhadap aluminium belum pulih.
Foto: tumpukan aluminium batangan siap diekspor.
Sumber: www.scmp.com