Jakarta, TAMBANG – PT Vale Indonesia, perusahan penambang nikel matte yang beroperasi di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel) masih memiliki janji yang belum terbayarkan kepada Pemerintah Indonesia. Janji itu harus ditunaikan Vale hingga paling lambat tahun 2022 nanti.
Apa janji itu? Ternyata pada saat mengakuisisi tambang nikel yang sebelumnya dikuasai PT Inco Limited pada tahun 2007, Vale menandatangani janji investasi dengan produksi mencapai 90 ribu ton.
Atas janji investasi itu, kini perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) asal Brasil ini, mulai mempersiapkan diri memenuhi target produksi tersebut. Sebab per tahun 2017, tercatat produksi nikel matte dari lahan 70,556 hektar hanya baru mencapai 77 ribu ton.
Presiden Direktur (Presdir) PT Vale Indonesia, Nico Kanter, membenarkan informasi tersebut. Menurutnya, menaikkan produksi adalah sebuah keniscayaan yang akan dilakukan Vale. Sebab selain janji, kebutuhan pasar terhadap produk nikel matte Vale diprediksikan akan terus meningkat beberapa tahun ke depan.
“Benar, ini menjadi bagian janji investasi kami kepada pemerintah. Untuk Sorowako, tahun 2021-2022 ini harus mencapai 90 ribu ton,” kata Nico Kanter.
Tentu, tidak mudah untuk menambah 13 ribu nikel matte dalam waktu empat tahun kedepan. Namun langkah-langkah tersebut tentu harus segera dipersiapkan. Sebab ada tiga faktor yang harus diperkuat untuk saling mendukung peningkatan produksi ini. Yaitu lokasi tambang, pabrik smelter dan pembangkit listrik.
Dari sisi tambang, Vale penuh percaya diri dengan area lahan seluas 70 ribuan di Sorowako ini, akan mampu memasok bahan tambang untuk diproduksi di smelter. Manager Long Term Planning PT Vale Indonesia, Obes Silalahi, menegaskan itu. Dari sisi tambang nikel sudah siap untuk mencapai target itu. Dari jumlah tonase nikel yang ditambang dengan nikel grade 1.9 persen, sudah siap untuk mencapai target tahun 2022.
Tinggal kemudian menurutnya, dari sisi kemampuan produksi pabrik yang harus juga dipersiapkan. Dan hal tersebut sudah mulai dilakukan dengan upgrade kemampuan produksi pabrik ,mengolah dan melebur nikel.
“Kalau dari tambang sudah siap, pabrik sudah siap, maka target itu akan tercapai. Tapi kalau misalnya kapasitas pabrik produksi baru bisa 1000 ton, kemudian kita kasih 1200 ton, pabrik gak bisa nampung. Sekarang sedang dipersiapkan untuk bisa meningkatkan produksinya,” kata Obes di lokasi tambang nikel Hasan Area, di Sorowako.
Selain itu menurutnya, umur tambang nikel PT Vale Indonesia dengan cadangan lahan tambang seluas 118 ribu hektar di Provinsi Sulawesi Selatan (Sorowako) dan Sulawesi Tengah (Bahodopi, Morowali) dan Pomala (Sulawesi Tenggara), siap menyuplai hingga tahun 2045 nanti.
“Kalau cadangan di Sorowako habis, masih ada Pomala, kemudian Bahodopi dan Lantoa. Makanya cadangan kita masih cukup sampai tahun 2045,” kata Obes Silalahi.
Lalu bagaimana dari sisi pabrik? Majalah TAMBANG menyaksikan langsung bagaimana pabrik ini mengolah bahan bijh nikel menjadi nickel matte kadar 78 persen yang siap untuk ekspor. Bahan bijih nikel yang diambil dari stockpile kemudian dibawa ke apron feeder dengan truk untuk dilakukan proses penyaringan yang nantinya dilanjutkan ke proses drying atau tanur pengeringan.
Berisiknya suara mesin, tajamnya benda-benda besi dan baja di sekitar pabrik, serta debu yang tajam dan bau menyengat, memang mengharuskan setiap orang yang berada di kawasan pabrik ini memakai perlengkapan Alat Pelindung Diri (APD). Terlebih ketika memasuki proses peleburan sejak bagian dry ore storage, reduction kiln hingga furnace.
Pada tahap reduction kiln, saat proses penghilangan kandungan air bebas dan air kristal lalu mereduksi nikel oksida menjadi nikel logam, hingga akhirnya menghasilkan kalsin dengan temperature 700 derajat celcius, pemakaian APD menjadi wajib mulai dari baju, sepatu, helm, kacamata masker dan penutup telinga.
Bahkan di area furnace, yaitu area peleburan kalsin menjadi nikel dalam matte dengan suhu 1.300 celcius dan terak (Slag) dengan suhu 1.500 celcius, Majalah TAMBANG tidak bisa mendekat. P ara pekerja terlihat memakai peralatan khusus anti api. Hingga akhirnya nikel berbentuk matte yang kemudian didinginkan di converter dengan tekanan air 5,8 kg/cm dan laju 145 liter per detik. Pada proses di converter ini hingga akhirnya granulasi, bahan nikel dikayakan kembali dari 25 persen kadar limbah menjadi nikel berkadar 78 persen.
Selanjutnya, setelah dikeringkan, nikel matte masuk ke wilayah packaging yang siap untuk di bawa ke pelabuhan Sorowako berjarak 60 km dari smelter. Setiap harinya sekitar 210-270 ton atau sekitar 70 kantong nikel matte yang dibawa ke pelabuhan. Untuk selanjutnya di ekspor ke Jepang dengan total 3.000 tahun per sekali ekspor.
Melihat proses peleburan bijih nikel hingga siap ekspor, dan menghasilkan 77 ribu ton nikel matte per tahunnya dengan mesin dan pekerja yang optimal. Tentu banyak hal yang harus dipersiapkan Vale dalam beberapa tahun ke depan.
Menjawab hal ini, Direktur Proses Plant PT Vale Indonesia, Dani Widjadja, mengatakan, mereka akan melakukan beberapa improvisasi optimalisasi alat produksi. Sebab dari sisi alat yang dimiliki saat ini, tidak memungkinkan untuk menambah alat produksi, namun yang dilakukan adalah meningkatkan kapasitas alat dengan beberapa perbaikan.
Misalnya, dalam produksi ada istilah delay, karena tidak 100 persen alat bisa ditekan bekerja maksimal. Hambatan delay tersebut yang menyebabkan tidak bisa mencapai produksi secara konstan atau stabil.
“Itu yang ingin kita atasi, jadi kita akan lakukan beberapa perbaikan. Bukan upgrade yang besar-besar,” kata Dani Widjaja.
Spesifiknya, delay yang terjadi di dryer misalnya, melakukan penggantian beberapa gear box agar bisa berputar lebih cepat. Saat ini menurutnya, putarannya mencapai 2,0 rbm dan ingin dimaksimalkan hingga kecepatan 2.2 rbm agar bisa mengolah material lebih banyak.
Perbaikan-perbaikan seperti itu, yang direncanakan oleh Vale untuk meningkatkan kapasitas produksi hingga tahun 2022 nanti. Bukan kemudian memperluas area smelter untuk lini produksi, melainkan memaksimalkan alat produksi.
2019, PLTA Larona Shutdown untuk Persiapan 2025
Satu faktor pendukung peningkatan produksi setelah suplai bahan tambang, produksi dan smelter, yaitu dukungan daya listrik untuk smelter. PT. Vale Indonesia memiliki tiga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang menyuplai listrik 365 Mega Watt (MW) ke pabrik nikel di Blok Sorowako.
Ketiga PLTA tersebut yaitu, PLTA Larona dengan kapasitas 165 MW, PLTA Balambano dengan kapasitas 110 MW dan PLTA Karebbe dengan 90 MW. Ketiganya, bersumber dari tiga danau, yaitu danau Matano, danau Mahalona dan danau Towuti. Sejak sebelum PLTA dibangun, dari yang terakhir danau Towuti, air mengalir langsung ke laut. Dan air itu yang kemudian dibendung untuk diubah menjadi energi listrik bagi kepentingan produksi nikel.
Majalah TAMBANG berkesempatan mendatangi salah satu PLTA pada 27 Juli lalu, yaitu PLTA Balambano, yang terletak di Desa Lambano, Kabupaten Luwu Timur. Ini adalah PLTA kedua yang dibangun Vale (dahulu INCO) pada tahun 1995 dan beroperasi tahun 1999. PLTA yang dibangun pertama adalah PLTA Larona yang beroperasi tahun 1979. Sementara PLTA Karebbe baru beroperasi tahun 2011.
Posisi PLTA Balambona juga berada di urutan kedua dari tiga PLTA tersebut. Urutannya, dari aliran tiga danau tersebut, posisi PLTA Larona berada di bagian paling atas, lalu mengalirkan air ke arah PLTA Balambano dan air mengalir ke bawah menuju PLTA Karebbe.
Saat mendatangi PLTA Balambona, Dam atau bendungan di PLTA ini dikatakan Instruktur Operasional PLTA Balambano, Sukardi Dulang, adalah Dam pertama di Indonesia yang dibangun full concrete atau Roller Compacted Concrete (CRC). Dalam bahasa lainnya, bendungan yang dibangun dengan menggunakan beton keseluruhan. Beda dengan PLTA Larona yang menggunakan Rock Fill with Concrete Face atau campuran batu, tanah dan beton.
Melintas di bendungan ini, secara kasat mata memang terlihat biasa saja. Namun di bawah injakan kaki, dilengkapi alat sensor untuk mendeteksi pergerakan beton. Bahkan ada juga sensor pendeteksi gempa, yang berada di bawah dan atas bendungan yang dinamakan Etna. Sehingga ketika terjadi pergerakan tanah, seperti kerap terjadi di wilayah ini, terakhir terjadi pada 25 April 2018 dengan kekuatan 4 scala ritcher. Mereka yang berada di bendungan dengan ketinggian 350 meter dan skala ketahanan gempa hingga 12 scala ritcher ini, tidak terasa goyangan tanah di atas bendungan.
“Karena tadi Dam kita, kalau ada goyangan itu, dia ikut, dia sliding mengikuti goncangannya sehingga Dam bisa menahan goyangan itu,” tutur Sukardi.
Bagaimana daya dukung ketiga PLTA tersebut terhadap produksi nikel di smelter. Sukardi menjelaskan, PLTA Balambano dengan menggerakkan dua turbin, masih bisa suplai hingga kapasitas 2 x 70 MW. Namun, karena air yang dipakai adalah limpahan dari PLTA Larona, dan sesuai dengan kapasitas kanal PLTA Larona sekitar 148 m3 per detik, maka listrik yang dihasilkan dari PLTA Balambano adalah sekitar 110 MW dari daya maksimal 140 MW.
“Rata-rata suplai listrik yang diberikan ke pabrik mencapai 280-300 MW per hari dari ketiga PLTA tersebut. Hanya beban puncaknya bisa mencapai 365 MW. Dan ada 10.7 MW yang diberikan kepada masyarakat melalui PLN, naik dari sebelumnya yang hanya 8 MW,” tutur Sukardi.
Menurut Chief Finance Officer (CFO) PT Vale Indonesia, Febriany, ketika pertama kali menyetujui pembangunan PLTA ketiga yaitu Karebbe pada tahun 2011, Vale dikabarkan sudah memiliki kalkulasi kapasitas dan suplai listrik untuk peningkatan produksi tahun 2022 nanti. Hal tersebut, yang menjadi pegangan Febry akan kemampuan ketiga PLTA tersebut memberikan dukungan peningkatan produksi nikel matte 90 ribu ton nantinya.
“Harusnya sih bisa, kan baru terpakai 280-300 MW. Approval tahun 2011, sudah memperhitungkan ekspansi ini. Jadi masih ada daya yang bisa dipakai untuk peningkatan produksi, ketiga PLTA ini masih mampu,” kata Febry.
Soal perbaikan PLTA, Vale memang pada tahun 2019 harus bisa mengikhlaskan penurunan produksi. Hal ini disebabkan, PLTA Larona sebagai pembangkit yang pertama kali dibangun tahun 1979 sudah mulai rapuh di usia senjanya. Terlebih struktur bangunan PLTA Larona berbeda dengan Balambano dan Karebbe yang dibangun dengan full concrete atau Roller Compacted Concrete (CRC) atau beton keseluruhan. Sementara PLTA Larona menggunakan Rock Fill with Concrete Face atau campuran batu, tanah dan beton.
Hal ini menyebabkan, pada tahun 2019 nanti PLTA Larona harus shutdown selama 10 pekan. Untuk memperbaiki rembesan-rembesan kebocoran air karena struktur bangunan yang masih bercampur batu dan tanah serta usianya yang sudah tua. Nantinya, dengan struktur ini, PLTA Larona akan ditambal dan dilebarkan daya tahannya dengan membuat dinding penahan tambahan memakai metode CRC seperti Balambano dan Karebbe.
Tentu hal ini akan berimbas pada produksi. Perkiraannya, satu furnace akan diistirahatkan karena pastinya suplai listrik berkurang dan hasil produksi juga berkurang.
“Mungkin kita tidak produksi satu furnace, dan produksi akan menurun tahun 2019. Tapi saya pastikan penurunan produksi tidak akan signifikan, tidak akan di bawah 70 ribu ton. Ini kita lakukan agar tahun 2022 kita bisa mencapai produksi 90 ribu ton,” pungkas Febry.
Persiapan yang dilalukan PT Vale Indonesia, masih menyisakan empat tahun ke depan untuk mencapai target rencana tersebut. Tentu, berbagai upaya akan dilakukan Vale untuk memenuhi janji kepada pemerintah sebagai komitmen perusahaan terhadap investasi yang sudah ditanamkan di negara ini. Semoga!