Jakarta, TAMBANG – Menurunnya prosentase ekspor nasional pada tahun 2017, tertolong dengan kontribusi 33 persen ekspor sektor pertambangan.
Peneliti Ekonomi Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, saat ini Indonesia di posisi peringkat 5 ASEAN dan peringkat 30 dunia, sebelumnya Indonesia berada di posisi ketiga ASEAN. Penurunan ini tertolong dengan kontribusi sektor pertambangan sebesar 33 persen.
“Hanya saja peran sektor pertambangan terhadap nilai ekspor nasional hanya sebesar 14,39 persen. Batu bara dan mineral seperti nikel, bijih besi menjadi penyumbang terbesar,” kata Heri, saat konferensi pers “Alarm Stagnansi Pertumbuhan Ekonomi, di Jakarta, Rabu (7/2).
Meski demikian menurutnya, kontribusi ini menjadi besar karena melemahnya sektor-sektor lain seperti manufaktur yang disebabkan kurangnya insentif untuk industri tidak berkecukupan. Serta membanjirnya produk impor di pasar dalam negeri. “Sehingga bertumpu pada ekspor sektor pertambangan,” tandasnya.
Meski demikian jika mengacu pada Undang-Undang (UU) Mineral dan Batubara (Minerba) yang melarang ekspor bahan mentah, maka nilai ekspor pertambangan secara jangka panjang tidak memiliki nilai tambah. Tentunya jika pemerintah konsisten menerapkan pelarangan ekspor bahan mentah, maka prosentase ekspor pertambangan akan menjadi kecil dengan nilai tambah yang besar.
“Sumbangan 33 persen ini cukup baik untuk periode jangka pendek, karena menjadi penyumbang ekspor Indonesia. Hanya peran pertambangan terhadap keseluruhan ekspor Indonesia sebesar 14,39 persen,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati mengatakan, seharusnya pemerintah konsisten terhadap Pemberlakuan UU Minerba yang melarang ekspor bahan mentah. Namun hal tersebut ternodai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Ketika harga produk pertambangan menurun menurutnya, seharusnya pemerintah tegas untuk melakukan pelarangan ekspor. Sementara saat ini, ketika sudah ada perbaikan komoditas, lalu pelarangan ekspor diberlakukan lagi maka akan muncul penolakan-penolakan.
“Waktu murah harganya, biarlah dilarang untuk ekspor, tidak apa-apa sekalian saja minus, bukan kemudian melakukan pengecualian memberikan sharing atau bisa membayar bea keluar. Dan harusnya saat itu dilakukan perbaikan untuk percepatan pembangunan fasilitas pengolahan pemurnian. Persoalan di pertambangan itu, kita tidak konsisten menjalankan amanat konstitusi,” kata Enny Sri Hartarti.